Mohon tunggu...
Dedy Moerizal
Dedy Moerizal Mohon Tunggu... -

Suka mengeksplorasi sesuatu yang baru...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seribu Rindu di Bukit Batu

13 April 2010   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku hanyalah sepatu yang kini diselimuti debu. Terkurung dibalik lemari gudang yang dibuka sangat jarang. Paling-paling daun pintu itu terbuka ketika menjelang lebaran ataupun pada saat awal pergantian tahun. Kami hidup berdesak-desakan disini. Lembab dan gelap serta sebuah kesamaan yang lain : berwajah murung.! Sebuah ekspresi spontan dari rasa terbuang.

Nasibku lebih beruntung, karena aku adalah sepatu gunung. Yah… paling tidak aku sudah banyak menjelajahi tempat-tempat dibumi dibanding barang bekas lain yang tinggal didalam lemari busuk ini. Aku sering menghibur mereka dengan bercerita tentang pengalamanku ketika saat-saat dulu pemilikku begitu menggebu menjelajahi hutan rimba. Cerita-ceritaku membuat mereka sedikit lebih nyaman berada disini. Walaupun harus aku akui, ada rasa getir ketika aku mengurai beragam peristiwa yang pernah kulalui dengan pemilikku. Rasa yang teramat sulit untuk aku ungkapkan. Terasakan namun tak terkatakan.

Dulu, aku selalu merasa sebagai benda yang paling beruntung dipermukaan bumi. Hidup terasa penuh dengan petualangan yang sangat mengesankan. Perjalanan kami seperti tanpa batas.

Aku masih ingat ketika pernah suatu ketika kami terjebak pada lembah yang seolah dipenuhi misteri lewat suara-suara angin gunung yang berbisik mendesis atau saat kami harus satu harian penuh melakukan orientasi disebabkan patahan yang membingungkan. Aku juga masih bisa mendengar jelas teriakan lepas pemilikku ketika aku berhasil menemaninya menjejakkan kaki pada puncak-puncak yang dihiasi pilar batu triangulasi.

Tapi itu dulu kawan…
Saat ketika aku begitu bergairah bercampur dengan lumpur. Saat aku tertawa melemah mencengkram serpihan batu. Saat pemilikku belum menggantikanku dengan sepatunya yang lebih necis dan fashionable serta melupakan kesederhanaan yang ditawarkan bukit batu yang sering dirindukannya dengan menggantikannya pada kehidupan hedonis yang gemerlap.

Aku tak pernah mengerti alasannya mengapa ia mengurungku disini. Padahal jika saja aku bisa memilih, aku ingin seperti cariernya yang berpindah tangan pada juniornya, atau seperti daypack itu yang dilego ditukang loak, atau matras yang disumbangkan pada mapala kampusnya, atau, atau, atau….

Paling tidak, aku ingin terus bertualang. Karena sebagai sepatu gunung aku ditakdirkan memiliki naluri petualang.

Tuhan… betapa aku menyimpan seribu rindu di bukit batu itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun