Mohon tunggu...
Kang Moenir
Kang Moenir Mohon Tunggu... Lainnya - Berproses menjadi sesuatu

Murid yang masih butuh bimbingan seorang Guru

Selanjutnya

Tutup

Kurma

"Munjung", Tradisi Berkirim Makanan Jelang Lebaran yang Makin Luntur

7 Mei 2021   13:45 Diperbarui: 7 Mei 2021   20:11 2553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Munjung (Riau Pos/Jawa Pos)

Masyarakat pesisir utara Pulau Jawa punya ragam tradisi unik selama bulan Ramadhan. Salah satunya adalah tradisi “Munjung”. Yaitu, tradisi mengirim atau menghantarkan makanan ke tetangga, sanak saudara, guru ngaji, atau orang yang dituakan. Pada momen-momen inilah, anak-anak akan disibukkan menjadi “suruhan” para orangtua untuk menghantarkan punjungan.

Di Weleri, salah satu Kecamatan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Munjung biasanya dilakukan sepekan menjelang Lebaran atau pagi-pagi buta sebelum pelaksanaan Shalat Ied. Makanan  yang dihantarkan atau disebut sebagai Punjungan, antara lain lontong, opor ayam, lodeh gori/tewel/kluwih, sambel goreng kentang dan yang tidak ketinggalan adalah lepet (beda ya dengan ketupat). Kenapa lontong bukan ketupat? Saya juga tidak tahu. Yang jelas, ketupat jarang sekali disajikan sebagai makanan lebaran. Ketupat baru akan disajikan tepat sepekan setelah Lebaran, masyarakat menyebutnya sebagai waktu “Bodo Kupat” atau lebaran ketupat.

Biasanya orang yang “dipunjung” akan memberikan punjungan balik. Waktunya bisa berbeda hari, atau pada saat itu juga langsung dititipkan ke anak yang mengantarkan punjungan tadi. Soal filosofi munjung, tidak perlu saya tulis disini karena orang awampun sudah mafhum. Ada nilai sedekah, berbagi, ajang silaturahmi, penghormatan kepada yang lebih tua dan lain sebagainya.

Seiring berkembangnya zaman, tradisi Munjung ini sekarang mulai ditinggalkan. Kalaupun masih ada, menu Punjungan pun banyak yang sudah diganti dengan bahan mentah seperti beras, mie instan, gula, teh, kopi, kue dan sebagainya. Praktis adalah salah satu alasannya. Sebab untuk membuat menu punjungan ini dibutuhkan tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Lontong dan lepet misalnya, tidak cukup satu jam dua jam untuk memasaknya. Harus benar-benar tanak agar bisa bertahan lama.

Lontong sudah paham ya? Kalau lepet, itu olahan ketan yang dicampur parutan kelapa muda dan sedikit garam lalu dibungkus dengan janur (daun kelapa muda). Membuatnya sangat sulit. Perlu keterampilan khusus, agar isiannya tidak “mrojol” disela-sela lilitan janur saat dimasak. Memasaknya diatas tungku dengan kayu sebagai bahan bakarnya. Kompor tidak dianjurkan karena rasanya akan berbeda. Pokoknya ribet dan rumit. 

Zaman dulu, di mana profesi masyarakatnya masih homogen seperti petani atau nelayan tentu tidak masalah. Mereka leluasa mengatur waktunya. Tapi bagi masyarakat sekarang yang punya beragam profesi, waktu menjadi sangat mahal. Walhasil, Munjung yang maha ribet itu mulai ditinggalkan oleh orang-orang desa. Lantas apakah parcel dan munjung itu sama? silahkan diperdebatkan.

Menurut saya, parcel dan munjung itu tidak bisa disamakan. Beda taste, punya ciri khasnya masing-masing. Orang desa tidak mengenal parcel. Tanpa menafikan parcel (karena saya seneng juga kalau dapat parcel), saya berpendapat Munjung tidak bisa tergantikan begitu saja. Mungkin karena punjungan ini membutuhkan effort yang lebih atau ada proses “dikangeli” (membuatnya disempat-sempatkan, diada-adakan meskipun sulit),  sehingga membuat pujungan terasa lebih istimewa.   

Yang jelas, Romadhon dan lebaran adalah momen-momen istimewa, sangat layak dirayakan dengan istimewa. Kalau ada yang bilang tradisi Munjung ini sesuatu jor-joran, saya termasuk barisan yang menentangnya. Sebab bagi orang desa yang hidupnya sederhana atau cenderung pas-pasan, makan enak itu sesuatu yang langka. Tidak tiap hari. Termasuk juga beli baju baru…

Baiklah, omong-omongan soal Munjung tadi sebenarnya hanya pelampiasan romantisme berlebaran di kampung halaman. Sebab untuk yang kedua kalinya, kami tidak bisa mudik.

Selamat berlebaran, selamat tidak mudik dan selamat membayangkan dapat “Punjungan” …

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun