Mohon tunggu...
Muhammad Nidhal
Muhammad Nidhal Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis medioker
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pengamat, pembaca, dan (calon) penulis. Bercita-cita membuahkan karya tulis yang bisa mengubah hidup banyak orang ke arah yang positif. #PeaceLoveUnity

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Radikal yang Disalahartikan

5 November 2019   01:48 Diperbarui: 5 November 2019   01:51 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belakangan ini, kegelisahan saya mencuat kembali setelah beberapa waktu sempat berdamai dengan dinamika politik negeri ini. Ya, apalagi kalau bukan soal radikalisme. Yang saya permasalahkan adalah definisi yang gagal dihadirkan oleh mereka yang suka mendengungkannya. Terutama dari otoritas pemerintah dengan kabinet yang baru saja dilantik.

Beberapa waktu lalu, terucap dari salah satu menteri pak Jokowi, bahwa agenda utama kabinet periode kedua Jokowi-Ma'ruf adalah melawan radikalisme. Sayangnya, pemerintah sampai saat ini belum mendefinisikan kata "radikalisme" padahal pemerintah sendiri sudah banyak memberikan label "radikal" terhadap individu atau kelompok tertentu. Generalisasi "radikal" selalu melekat ke mereka yang beridentitas Islam, baik moderat, kiri, salafi, wahabi, dan sebagainya yang penting Islam.

Pendefinisian ini memang penting sebagai tolak ukur untuk membedakan apakah suatu tindakan membahayakan masyarakat atau negara, atau masih menjadi bagian dari kebebasan berekspresi --dalam konteks lebih luas adalah bagian dari HAM. Kekosongan ini juga menimbulkan kritik dari berbagai kalangan ketika pemerintah mengklaim kampus tertentu terpapar radikalisme.

Saya coba sedikit bedah genealogi "radikal." Kita mulai dengan terminologinya. Saya ambil dari yang kredibel, KBBI & Merriam Webster. Menurut MW, radical = (a) a root part; (b) a basic principle; (c) of or relating to the origin. Tak jauh berbeda, menurut KBBI, radikal = (a) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); (b) Pol amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); (c) maju dalam berpikir atau bertindak.

Sementara secara etimologi, radikal berasal dari kata latin, radix/radici, yang berarti "akar." Dalam politik, istilah "radikal" mengacu pada individu, gerakan atau partai yang memperjuangkan perubahan sosial atau sistem politik secara mendasar atau keseluruhan. Istilah "radikal" muncul di panggung politik kira-kira abad ke-18 di Eropa dan ke-19 di Amerika Serikat.

Bagaimana dengan Indonesia? Penyebutan radikal sudah ada di Indonesia sejak era kolonialisme Hindia-Belanda. Dalam pergerakan, radikal menjadi cap bagi gerakan yang tidak berkompromi dengan kolonialisme. Sebutan lainnya adalah non-koperasi. Gerakan radikal alias non-koperasi adalah antitesis dari gerakan moderat yang cenderung kompromis dan mengemis kebaikan pada penguasa kolonial.

Melihat kondisi Indonesia saat ini, terutama setelah beberapa posisi menteri diisi oleh orang yang berlatar belakang jenderal dalam kabinet baru Jokowi-Ma'ruf. Sontak saya menduga bahwa pemberantasan radikalisme akan menggunakan cara-cara represif ketimbang dialogis. Belum genap satu bulan dari kabinet baru, kegaduhan sudah terjadi. Misalnya wacana pelarangan cadar/niqab dan celana cingkrang oleh menteri agama yang diklaim sebagai salah satu cara melawan radikalisme menimbulkan polemik.

Saya tidak tahu persis seberapa besar darurat radikalisme di Indonesia sampai-sampai pemerintah sekarang sangat reaktif dan justru melahirkan kebijakan-kebijakan prematur. Karena sedari awal, pemerintah tidak menghadirkan definisi resmi radikal/radikalisme. Yang pasti, radikalisme dalam agama yang sedang disasar. Jika yang dimaksud radikal adalah kelompok yang ingin mendirikan negara khilafah, lalu pertanyaannya, bukankah organisasi yang paling aktif memperjuangkan khilafah, HTI, sudah dibubarkan?

Jika memang ilusi negara Islam masih termanifestasi dalam pikiran sebagian masyarakat kita, bukankah buah pikiran adalah sesuatu yang abstrak dan tidak bisa dipidanakan? Kalau kata Rocky Gerung "Pikiran kita selalu dalam kondisi radikal. Masalahnya adalah tidak semua yang berpikiran radikal mau melakukan kekerasan radikal." Nah, ketika sudah masuk wilayah tindakan kekerasan, itu namanya ekstremisme kekerasan (violent extremism) vis-a-vis terorisme yang saya sendiri sangat mengutuknya.

Di Dunia Barat, sebutan radikal sudah bertransformasi menjadi violent extremism karena lebih tepat dan tidak ambigu maknanya. Sementara di Indonesia, kita masih menggunakan istilah "radikal." Penggunaan kata radikalisme bisa dengan mudah disinonimkan dengan revivalisme, puritanisme, fundamentalisme, fanatisme, anti-pluralisme, intoleransi, sektarianisme, ekstremisme dan terorisme yang kesemuanya terkesan negatif dan menyudutkan kelompok yang dicap radikal.

Akan tetapi jika kita kembali ke penjelasan genealogi radikal sebagaimana sudah saya jelaskan di atas. Secara historis, radikal berjasa melahirkan perkembangan pemikiran dan kebijakan progresif di berbagai belahan dunia. Mulai dari gerakan penghapusan perbudakan, gerakan anti-kolonialisme di Amerika-Asia-Afrika, gerakan feminis, gerakan buruh, perjuangan petani, gerakan lingkungan, dan masih banyak lagi. Sehingga kaum radikal masa lalu, identik dengan kaum progresif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun