Oleh : Mulyadi Muslim
Kata-kata fitnah sebenarnya sudah jamak dipakai dalam kehidupan sehari-hari, terutamadalam komunikasiantara dua orang atau lebihyang terlibat dalam perselisihan. Satupihak merasa difitnah oleh lawannya, sebagaimanapihak yang tertudauhpun juga akan membalas bahwa dia juga difitnah. Jika ditelisik secara kebahasaan, maka sebenarnya kata-kata fitnah adalah kata yang diambil dari bahasa arab dan telahmenjadi bahasa baku dalambahasa Indonesia. Jika dalam bahasa Arab fitnah itumemiliki makna dasarujian dan dengan derivasi (makna turunan ) mencapai enam puluh kali dalam al Qur-an seperti azab, ujian, godaan, propaganda, permusuhan, cobaan dan lain-lainnya. Maka dalam bahasa Indonesia, sebgaimana dijelaskan dalam “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, oleh Poerwadarminto mengartikan “Fitnah” secara etimologi berarti perkataan yang bermaksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan dan sebagainya) dan tidak ada bukti sama sekali.
Kata-kata atau istilah fitnah ini menjadi menarik untuk dibahas jika berkaitan atau dihubungkan dengan dinamika politik. Maka fitnah bisa jadi menjadi bumerang bagi penyebar fitnah dimaksud. Target awal yang diharapkan adalah competitor, objek fitnah menjadi buruk citranya, tidak dipilih oleh masyarakat, tetapi bisa jadi berbalik arah seratus delapan puluh derajat ketika orang mengetahui bahwa berita atau issu yang dihembuskan itu tidak terbukti, sehingga menjadi negative bagi penyebar atau inisiator dari fitnah yang dihembuskan itu. Inilah barang kali yang menjadi latar belakang seorang bang Fakhrul Rasyid harus menulis komentar di harian Singgalang pada sabtu/30/11/2013.
Dalam tulisannya, bang Fakhrul menyayangkan terjadinya fitnah menjelang pilkada putaran kedua untuk salah satu pasangan yang lolos, yaitu pada diri Prof.Dr.Ir.H.James Hellyward (calon wakil walikota dari Desri Ayunda). Sehingga bang Fakhrul memberikan sedikit ulasan tentang biografi sang calon, lalu kemudian menguraikan betapa jurus fitnah bukan yang pertama untuk pilkada di Sumatera Barat. Beliau menyebutkan bahwa Marlis Rahman juga kena fitnah pada pilkada Gubernur periode 2010, Gamawan fauzi juga kena fitnah pada pilkada Gubernur tahun 2005-2010 dan begitu juga Ir.H.Muzni Zakaria yang maju jadi calaon Bupati Solok Selatan terkena fitnah dengan sebuah selebaran setengah folio yang berisikan pernyataan bahwa calon yang dimaksud bodoh dan dituduh menilep besi bangunan korban gempa saat menjabat Kepala Dinas PU Padang.
Pembaca tentunya membaca yang tersurat, kemudian akan memberikan kesimpulan dan menangkap yang tersirat. Begitulah orang yang tahu dengan nan ampek dalam kultur Minang kabau. Siapa yang dimaksud dengan penyebar fitnah pada pilkada Padang untuk putaran kedua ini jika korbanya adalahPak James?. Tentu orang yang tidak mengerti politik, tidak mau berfikir arif dan bijak akan langsung menyimpulkan bahwa penyebar fitnah adalah kompetitornya pak James atau Deje. Jika tidak yang bersangkutan maka mungkin tim suksesnya atau relawanya. Begitu juga halnya dengan fitnah pada pilkada Gubernur yang menimpa Marlis Rahman, Gamawan ataupun Muzni zakria dalam pilkada Solok Selatan, pasti penyebarnya adalah competitor atau lawan kuat yang bersangkutan dalam pertarungan tersebut.
Walau demikian adanya, sangat mungkin apa yang terjadi dan terlihat dipermukaan bukanlah benar seratus persen, apalagi dalam dunia politik, apa saja sangat mungkin terjadi. Karena yang ada dalam kamus politik (hitam) adalah rekayasa, sementara dalam politik (putih), negosiasi untuk memenangkan kebenaran dan hajat orang banyak. Jika beradu pengusung politik hitam dengan politik putih, maka warnanya setidaknya akan jadi abu-abu. Yang tidak ada dalam politik adalah kata-kata “tidak”, tetapi kata-kata mungkin, sangat mungkin terjadi. Orang mungkin tidak percaya bahwa bisa jadi fitnah yang dimunculkan adalah rekayasa dari tim sukses yang bersangkutan.
Sebuah issu dibuat misalnya bahwa kandidatnya difitnah oleh kompetitornya dengan harapan muncul kesimpulan bahwa kandidatnya terzhalimi, tumbuh simpati kepada kandidat yang terzhalimi dari masyarakat, lalu masyarakat memberikan suara kepada kandidat yang “terzhalimi” dimaksud. Dan ini dalam marketing politik dinamakan dengan politik pencitraan. Yang membuat issu fitnah adalah tim sukses, ditembakkan ke pada competitortapi target untuk mendongkrak suara kandidat yang didukungnya. Tetapi hal ini nampaknya tidak menarikuntuk di ulas oleh bang Fakhrul. Padahal jika kita telisik lebih arif untuk kasus Marlis Rahman yang kena fitnah,setidaknya satu pertanyaanharus dijawab, kenapa Marlis Rahman yang juga seorang kandidat, bisa memanggil wartawan danpihak kepolisian pada waktu bersamaan?. Seharusnya jika dia atau timnya bermain cantik, cukup pihak kepolisian saja yang datang menangkap pelaku terlebih dahulu, kemudian baru diketahui oleh wartawan didrama akhir, tetapi nyatanya tidak demikian skenarionya. Tambah lagi ternyata pelaku atau oknumnya tidak dihukum, kecuali hanya sekedar diamankan beberapa hari, begitu juga dengan pelaku/oknum yang menyebar fitnah di Solok Selatan ternyata tidak ada yang ditangkap, apalagi diadili.
Jika fitnah itu benar-benar terjadi, tentu dia tidak lagi pencorengan atau merusak nama baik, karena sudah menjadi kenyataan atau fakta. Baik buruknya kepribadian seorang calon sejaitnya perlu diketahui oleh masyarakat, karena itulah yang akan menjadi tolok ukur penilaian terhadap calon pemimpinnya. Jika seorang calon misalnya diketahui tidak akur dengan keluarga inti atau tetangganya, tentu dengan orang yang lebih banyak akan sulit untuk lebih baik, dan itulah kesimpulan sementaranya. Adapun pencitraan yang sengaja direkayasa oleh tim sukses, apalagi dalam bentuk fitnah hanya akan mempercepat kekalahan atau mapatinggi tampek jatuah kata orang minang. Sementara jika fitnah dilawan dengan fitnah alias fitnah VS fitnah, maka yang akan terjadi adalah sering serang antara kandidat atau tim, baik di media massa yang dikemas dalam bentuk opini dan pemberitaan,jejaring social seperti Face book ataupun twiter, dalam debat, kampanye dan bahkan bisa jadi dilapangan. Sangat mungkin berujung kepada perkelahian dan permusuhan . Adapun masyarakat pemilih akan memberikan penilaian ternyata kandidat yang bertarung sama dengan atau pakai istilah gaul cuma sebelas dua belas, maka bagus golput alias tidak memilih, dan tentunya ini juga merugikan serta melemahkan legitimasi demokrasi dalam pilkada.
Apabila fitnah terus berlanjut maka sungguh mengerikan dan menyedihkan, karena akan mencederai proses demokrasi dalam pilkada. Maka pilihan bijak adalah melawan fitnahadalah dengan bukti nyata. Karena pada akhirnya juga akan diketahui mana yang loyang dan manapula yang emas. Siapa penyebar issu, siapa yang sebenarnya korban dari fitnah, serta siapa yang bermain, sehingga pada akhirnya akan malu sendiri, tidak dipilih calonnya oleh masyarakat dan bahkan tidak didengar lagi celotehannya.
Andai semua itu tidak terbukti di dunia, maka bagi orang yang beragama, yang yakin dengan pengadilan Tuhan, maka dia akan tetap optimis, bahwa pengadilan Tuhan pasti adanya dan akan mengungkap sejelas-jelasnya siapa yang benar dan siapa yang “penipu” kebenaran dalam bentuk hembusan fitnah. Semoga fitnah VS fitnah tidak terus berlanjut untuk pilkada Padang ataupun untuk Pemilu legislative dan presiden di ranah minang tercinta. semoga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI