Pagi yang sejuk ujung utara Kota Bandung di pertengahan Mei 2025, angin menggelitik dingin masuk melalui jendela kantor yang terbuka, dingin terasa menyejukan, tidak terlalu riuh suasana kantor dibukalah laptop, berpikir apa yang harus dituliskan untuk kompasiana. Selepas hari kemarin melepas segala penat dalam suasana membincangkan pergumulan politik kampus. Politik yang menyembunyikan intrik, dinamika, pergulatan pemikiran dan harapan yang dituliskan dengan barisan kata dan kalimat yang entah bermakna atau pun tidak buat para cendikia-pandai di kampus ini.Setelah merenung terbersitlah untuk menanyakan sesuatu pada seorang dosen muda dengan latar pendidikan dari salah satu kampus terbaik Universitas Indonesia dengan simbol jaket kuning yang menjadi pusat gerakan mahasiswa era 90-an yang menumbangkan pemerintahan Orde Baru. Harapannya menemukan pencerahan dan insight karena jam-jam berikutnya akan disibukkan dengan urusan birokratis dan prosedur-prosedur kerja yang monoton.“Kalau tidak keberatan rekomendasikan sebuah buku buat saya?”, kata saya melalui aplikasi pesan singkat. Sejurus kemudian ada jawaban dari dosen tersebut, sebuah buku yang berjudul “Man and His Symbols” karya Carl Gustav Jung. Buku ini terbit tahun 1964 tiga tahun seteleh Jung meninggal dunia tahun 1961. Konsep visualisasi psikologis yang digambarkan cukup mendalam dengan mendeskripsikan hubungan manusia dengan alam bawah sadar. Buku ini dibagi menjadi lima bagian empat diantaranya ditulis rekan sejawat C. Gustav Jung.
Carl Jung adalah salah satu teoretikus psikologis yang paling penting dan paling kontroversial, Jung berfokus pada membangun hubungan antara kesadaran dan ketidaksadaran. Dialog antara aspek sadar dan bawah sadar dari jiwa memperkaya orang, dan Jung percaya bahwa tanpa dialog ini, proses ketidaksadaran dapat melemahkan dan bahkan membahayakan kepribadian.
Fokus kajian utama Jung adalah individualisasi melalui proses pengembangan pribadi yang melibatkan relasi antara ego dan diri. Ego sebagai pusat kesadaran; diri merupakan pusat dari jiwa total, termasuk kesadaran dan ketidaksadaran. Jung menyatakan ternyata ada interaksi tetap di antara keduanya. Ego dan diri tidak bisa dipisahkan tetapi dua aspek dari sistem tunggal. Individuasi dipandang sebagai proses untuk mengembangkan keutuhan dengan menyatukan berbagai bagian jiwa.
Bagian pertama, Mendekati Alam Bawah Sadar oleh Carl G. Jung; Bagian kedua. Mitos Kuno dan Manusia Modern oleh Joseph L. Henderson; Bagian ketiga, Proses Individualisasi oleh M.L. von Franz; Bagian keempat, Simbolisme dalam Seni Visual oleh Anie Jaffe; dan Bagian kelima Simbol dalam Analisis Individu oleh Jolande Jacobi.
Jung menyampaikan bahwa simbol berbeda dengan tanda, Simbol bagi Jung sebagai saluran komunikasi utama bagi alam bawah sadar dan jiwa manusia. Simbol memberikan pemaknaan yang lebih mendalam dan mendalam melampaui teks-teks dalam memahami diri dan lingkungan. Erat kaitannya dengan pengungkapan makna dibalik realitas yang terjadi, bahkan seperti konsep dramaturgi Erving Goffman ada panggung depan dan pangung belakang. Panggung depan adalah area dimana invidu menampilkan peran sosial di depan penonton, sementara panggung belakang merupakan area pribadi yang tersembunyi dari pandangan luar, tempatnya jiwa-jiwa yang jauh menghujam tak bisa dijangkau dengan penglihatan mata dan pendengaran telinga.
Jam di dinding kantor telah beranjak siang, siap-siap kembali pada rutinitas kantor, menenggelamkan relung jiwa yang akan tenggelam dalam ketukan toots keyboard komputer .***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI