Affan, Anak Jalanan yang Kuat
Affan Kurniawan bukanlah sosok yang menonjol di mata dunia. Ia hanyalah seorang driver ojek online, bekerja siang malam menempuh jalanan kota, menembus hujan dan panas demi sesuap nasi dan senyum ibunya. Rumahnya sederhana, di pinggiran kota, tempat ia tinggal bersama ibunya yang renta dan adik perempuannya yang masih duduk di bangku sekolah.
Sehari-hari, Affan bangun sebelum matahari menanjak. Ia merapikan helm hijau yang sudah pudar warnanya, memeriksa motor tua yang setia menemaninya, dan menyalakan aplikasi yang menjadi jembatan hidupnya dengan dunia. Order pertama hari itu selalu menjadi doa: semoga perjalanan ini membawa lebih dari sekadar rupiah---semoga membawa sedikit kebahagiaan bagi orang-orang yang ia cintai.
Affan tidak menikah. Ia menaruh semua cintanya pada keluarga yang ia sayangi, dan pada teman-teman ojol yang baginya adalah saudara di jalanan. Ia dikenal ramah, pekerja keras, dan selalu menahan lelah agar tidak membebani hati orang-orang di sekitarnya. Namun di balik senyumnya, tersimpan lelah yang tidak pernah tuntas, lelah dari hidup yang menuntut lebih dari yang bisa ia beri.
Malam yang Menjadi Terakhir
Malam itu, Jakarta riuh oleh demo yang menuntut keadilan dari gedung DPR. Jalanan dipenuhi massa, suara teriakan, dan sirine kendaraan aparat. Affan hanya ingin melanjutkan pekerjaannya, mengantar pesanan makanan terakhir untuk seorang pelanggan. Ia melintasi jalanan dengan hati-hati, menghindari kerumunan yang berdesak-desakan, berharap bisa pulang lebih cepat.
Namun nasib menunggunya di tikungan yang salah. Roda Brimob yang melaju kencang menghantamnya sebelum ia sempat menghindar. Helm hijau yang selalu melekat di kepalanya terlempar, motor ringsek, dan tubuhnya terbaring di aspal basah, bercampur genangan air hujan yang dingin.
Di sekelilingnya, orang-orang berteriak panik. Beberapa mencoba menolong, sebagian lagi hanya menatap dengan mata penuh takut. Affan, anak sederhana yang selalu mengandalkan tenaga sendiri, pergi begitu cepat, meninggalkan dunia yang ia perjuangkan setiap hari.
 Tangisan dan Amarah Keluarga
Di rumah kontrakan sederhana, kabar itu tiba bagai petir. Ibu Affan jatuh pingsan saat mendengar kabar anaknya terluka parah. Adik perempuannya menangis memeluk boneka favorit, tidak mengerti mengapa kakaknya tidak pulang seperti biasanya. Teman-teman ojol berdatangan, membawa helm hijau, jaket, dan doa-doa. Tangisan mereka bukan hanya karena kehilangan seorang sahabat, tetapi juga karena sadar: siapa yang menjamin keselamatan mereka di jalanan esok hari?
Kemarahan dan kepedihan bercampur. Mereka menatap layar ponsel, melihat berita yang menuliskan: "Driver ojol terluka saat demo." Bagi media, itu hanya angka, hanya headline. Bagi mereka, itu adalah Affan---teman, saudara, simbol perjuangan rakyat kecil yang sering diabaikan.
 Suara Rakyat yang Terbungkam
Di gedung DPR, kursi-kursi empuk berderet rapi. Wakil rakyat berbicara tentang pembangunan, tentang demokrasi, tentang bela negara. Namun suara rakyat, terutama Affan dan ribuan orang yang menyeru dari jalanan, tak pernah terdengar. Mereka berteriak, tetapi terhalang oleh tembok kekuasaan dan deru kendaraan aparat.