Mohon tunggu...
Moch. Marsa Taufiqurrohman
Moch. Marsa Taufiqurrohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum (yang nggak nulis tentang hukum)

Seorang anak yang lahir sebagai kado terindah untuk ulangtahun ke-23 Ibundanya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Alih Generasi Petani, Meraih Asa Kedaulatan Pangan

22 Mei 2019   23:18 Diperbarui: 22 Mei 2019   23:29 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alih Generasi Petani. (Sumber Foto: dilladrj.wordpress.com)

"India dengan 1.1 milyar pengonsumsi beras adalah sebuah potensi pasar yang ciamik untuk Rice 9. Kita butuh seseorang tepercaya untuk dapat  menyasar dan memengaruhi mereka secara langsung" -  Gurgon (Basmati Blues Film).

Seorang petani dengan traktornya yang saya lihat pagi tadi menjadi pengantar pikiran saya kepada ingatan akan film Basmati Blues. Sebuah film yang menyadarkan saya akan pentingnya kedaulatan pangan. Diceritakan di dalam film tersebut, sebuah perusahaan bernama Mogil Corp berusaha untuk menjadikan para petani India 'bergantung' dengan Rice 9, bibit padi ciptaan Mogil Corp.

Singkat cerita Mogil Corp mengirim Dr. Linda seorang ahli genetik padi untuk dapat memengaruhi petani India agar menggunakan benih Rice 9. Namun apa yang hendak dilakukan Dr. Linda sempat terhalang oleh seorang petani lokal muda bernama Rajit, yang ternyata sadar akan maksud terselubung Mogil Corp. Meski begitu benih hebat milik Dr. Linda yang mampu lebih unggul dan lebih produktif mampu membuat para petani percaya, usaha Rajit menyadarkan para petani pun gagal. Alhasil para petani India menjadi benar-benar ketergantungan dengan Rice 9, dan membuat mereka kehilangan tradisi dan kemampuan membenih sendiri.

Bagi Indonesia yang bermimpi untuk berdaulat pangan secara penuh, ketergantungan petani terhadap benih hibrida introdusir pabrikan adalah sebuah masalah yang amat serius. Bukan hanya petani akan kehilangan kemandirian menghasilkan benih, tetapi juga karena benih pabrikan sering dijajakan sepaket dengan pupuk dan obat-obatan yang diatur secara close-list. Yakni bila petani menggunakan benih X, berarti juga harus membeli pupuk X, juga harus dengan pestisida X.

Asa Indonesia Menjadi Negara Berdaulat Pangan

Inilah kemudian yang kita semua takutkan, ketika fenomena aging farmers terjadi dan semakin berkurangnya petani muda berpendidikan. Sehingga asa menjadi negara berdaulat pangan menjadi pupus sebab gagalnya regenerasi petani. Ketika kedaulatan pangan telah hilang, maka yang selanjutnya menjadi kekhawatiran adalah upaya mencapai ketahanan pangan yang baik di Indonesia akan mengalami kegagalan.

Padahal secara global, pembangunan ketahanan pangan merupakan satu dari tujuh belas Sustainable Development Goals (SDGs). Pada poin kedua, yaitu zero hunger, pembangunan berkelanjutan menginginkan terpenuhinya ketahanan pangan, masyarakat akan terbebas dari kelaparan. Sebab pangan merupakan kebutuhan paling mendasar setiap umat manusia mendukung keberlangsungan hidup. Tujuan dari ketahanan pangan tak lain ialah agar supaya masyarakat dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Selain itu, ketahanan pangan juga dijelaskan dalam empat pilar Food and Agricultural Organization (FAO), yaitu ketersediaan pangan, akses fisik dan ekonomi atas pangan, stabilitas persediaan dan akses pangan, serta pemanfaatan pangan. Oleh karena itu, tak pelak bahwa kemudian, konsepsi regenerasi petani sangat besar pengaruhnya bagi pembangunan ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Petani Bukan Buruh, Petani adalah Cita-cita

Petani bukan Buruh (Sumber Gambar: cnnindonesia.com)
Petani bukan Buruh (Sumber Gambar: cnnindonesia.com)

Gagalnya alih generasi petani secara umum disebabkan oleh anggapan bahwa petani merupakan buruh, dan petani tidak terdapat di dalam kamus cita-cita anak Indonesia. Sehingga tak heran jika kemudian profesi petani semakin hari semakin ditinggalkan. Hal ini dibuktikan oleh data BPS yang menyebutkan pada tahun 2017 lalu penurunan penyerapan tenaga kerja pertanian menurun tajam dan signifikan sebesar 33,51 persen.

Jangankan menjadi cita-cita, orang tua petani pun tidak menginginkan anaknya menjadi petani, karena petani identik dengan keterbelakangan. Bahkan mahasiswa jurusan pertanian sekalipun ketika lulus lebih memilih menjadi karyawan. Hal tersebut menjadi tanda paling sederhana bahwa menjadi petani dianggap bukan sesuatu yang diharapkan dan bukan profesi prestisius, apalagi menjanjikan. Regenerasi pun menjadi tidak berjalan sama sekali. Inilah yang kemudian perlu kita sadarkan bahwa petani bukanlah buruh dan petani adalah sebuah cita-cita. Petani merupakan motor dalam food estate, mereka hidup dari usahanya sendiri, bahkan mereka dapat menghidupi orang banyak.

Seringkali petani adalah mereka yang tersingkir dari persaingan bursa kerja. Sehingga mereka 'terpaksa' menjadi petani daripada tidak bekerja. Alhasil kualitas pertanian tidak pernah berkembang. Belum lagi ilmu bertani aging farmers (petani tua) yang tidak pernah ter-upgrade. Bertani pun hanya dijadikan sekadar menyambung hidup, tanpa ada keinginan untuk mencari dan melakukan cara lain yang lebih modern.

Pertanian dan Petani yang Melek Teknologi

Pembangunan pertanian di era globalisasi dengan arus perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat turut menggerus pekerjaan bertani bahkan hingga terganjalnya proses regenerasi petani. Maka penyusunan strategi dan instrumen kebijakan yang strategis menjadi sangat dinantikan. Masyarakat yang berprofesi sebagai petani harus didorong serta diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Secara sederhana, perlu dibangun rasa bangga akan berprofesi sebagai petani, yang juga harus sebanding untuk perbaikan sistem pertanian yang terpadu, memutus mata rantai distribusi dan birokrasi yang meruwetkan, peningkatan produktivitas lahan dan produksi, serta sarana prasarana produksi yang tepat sasaran.

Seorang petani harus semakin beradaptasi dengan teknologi. Para sarjana pertanian pun menjadi tonggak harapan, jangan kemudian lulus menjadi karyawan. Dengan pertimbangan keinginan Indonesia menjadi negara yang benar-benar berdaulat pangan, kebijaksanaan pangan nasional perlu mengakomodasi adanya alih generasi petani. Dimana kemudian proses regenerasi petani mampu mewujudkan kedaulatan pangan nasional yang tangguh menghadapi segala gejolak.

Sehingga tugas kita bersama adalah turut serta mendukung pertanian yang maju, serta petani yang melek teknologi. Walaupun sebenarnya gambaran ini muncul lebih dikarenakan ketiadaan bukti petani yang berhasil melalui ilmu dan teknologi. Mudahnya, menghapus gambaran kurang baik soal petani adalah sangat penting. Setidaknya kita tidak menjadi mereka-mereka yang menjatuhkan ketika seorang sarjana pertanian yang kemudian bersekolah tinggi hanya menjadi seorang petani.

Padahal sebenarnya minat pertanian sebenarnya sangat cocok di alam Indonesia, kuncinya adalah kita perlu untuk menghargai profesi pertanian. Dengan begitu dalam waktu dekat akan muncul petani-petani sukses yang cara kerjanya dengan penerapan teknologi. Sehingga akan menggugah minat generasi selanjutnya, maka regenerasi petani akan tumbuh berhasil. Sehingga di masa yang akan datang, profesi petani menjadi akrab di dalam kamus cita-cita anak Indonesia, dan banyak anak muda yang bercita-cita menjadi seorang petani.

Kebijakan Pemerintah dalam Mendukung Alih Generasi Petani

Regenerasi Petani untuk Indonesia Berdaulat Pangan (Sumber Gambar: pertanianku.com)
Regenerasi Petani untuk Indonesia Berdaulat Pangan (Sumber Gambar: pertanianku.com)

Paling akhir adalah upaya pemerintah dalam mendukung alih generasi petani. Sederhana saja, masalah-masalah petani seperti berkurangnya ketersediaan lahan harus segera diatasi. Sebab ketersediaan lahan merupakan hal terpenting dalam memproduksi pangan. Ketersediaan lahan menentukan ketahanan pangan negara. Tak pelak jika berkurangnya jumlah lahan pertanian ternyata juga diikuti penyusutan profesi petani, hal tersebut disebabkan oleh hilangnya lahan pertanian yang juga menyebabkan hilangnya gairah untuk bertani dan menjadi petani.

Selain itu, desa dengan perekonomian bercorak pertanian tidak seharusnya berubah menjadi perkotaan yang bercorak industri dan jasa untuk menjadi daerah yang maju. Desa bisa tumbuh, berkembang, dan maju setara dengan kota tanpa harus beralih menjadi daerah yang bercorak industri dan jasa. Profesi petani bahkan bisa menjadi setara dengan profesi lainnya di bidang industri dan jasa. Oleh karenanya tangan pemerintah sangan penting untuk turun mengatasi hal ini melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung.

Pada akhirnya mimpi kita meraih kedaulatan pangan dengan alih generasi petani akan terwujud, sehingga bayang-bayang mimpi buruk seperti yang terjadi dalam film Basmati Blues menjadi mustahil terjadi di Indonesia.

Untuk para petani, love you 3000 :)

Hidup petani Indonesia!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun