Mohon tunggu...
Cahya Sinda
Cahya Sinda Mohon Tunggu... -

Sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kehadiran yang Berarti

18 November 2018   11:43 Diperbarui: 18 November 2018   12:32 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini dia datang lagi, namun sepertinya ada yang berbeda, setelah aku melihatnya lebih jauh aku memutuskan untuk tidak peduli jadi aku kembali membaca koran yang sudah dari tadi aku pegang. Aku yakin setelah ini dia akan memesan kopi kemudian melihat kearahku lantas tersenyum. Jika hal itu tidak terjadi, maka perbedaan itu terletak disana. Ah.. sudahlah aku tidak peduli.

            "kopi buk!"

Ternyata benar. Aduh, ini membuat aku tidak lagi menaruh perhatian penuh pada koran yang aku pegang. Pemuda itu memesan kopi seperti biasanya. Sekarang adalah giliranku untuk melihatnya dan dia pasti akan tersenyum padaku. Memang benar demikian, ini terjadi berulang-ulang sejak saat itu, ketika ia datang dengan pakaian kebasahan karena hujan.

Aku kembali menutupi wajahku dengan koran, bukan untuk membaca koran melainkan untuk berfikir. Setiap kalimat yang aku lihat di koran tidak bisa berubah menjadi makna. Aku mencoba mengendalikan diri, tapi ternyata pemuda itu benar-benar berhasil mengalihkan perhatianku padanya. Hal yang berbeda itu, aku berusaha terus mencarinya.

Jika seperti ini saja, tidak ada yang akan berubah. Tentu saja aku tidak akan tahu apa yang berbeda dari pemuda itu hari ini. Sebenarnya ini perkara mudah. Lebih mudah dari memancing ikan di dalam aquarium. Kuletakkan koran yang dari tadi aku pegang ke atas meja. Aku duduk tegap bersandar dengan menyilangkan tangan. Aku yakin tidak akan lama, atau pada hari yang berbeda.

            "Korannya tidak dibaca, mbak?"

            "Tidak terbaca, mas."

            "Buram?" Aku rasa pemuda itu bercanda.

            "Bukan seperti itu mas, saya hanya sedang tidak ingin membacanya."

Baru kali ini, setelah sekian lama, ia sering datang ke warung ini, aku berbicara dengan pemuda itu. Sebelumnya aku hanya berbalas senyum kepadanya. Setiap ia datang, sore hari seperti ini, selalu saja berakhir tanpa kata-kata. Aku merasa bingung dengan alasannya datang ke tempat ini, aku berharap hanya bukan untuk menemuiku.

            "Saya suka tempat ini."

            "Oh iya, saya ingat beberapa kali. Mas.....?"

            "Hito!"

            "Oh iya, mas Hito ini sering ke warung ini."

            "Iya belakangan ini".

Aku tidak menyangka melakukan obrolan dengannya, bahkan kali ini aku mengetahui namanya, Hito. Namanya jarang aku dengar. Cukup menarik, ini membuatku ingin lebih tau tentang dirinya.  Kalau saja sejak kemarin seperti ini, mungkin obrolan hari ini berada pada level yang lebih tinggi.

            "Kalau mbak...,?"

Sudah aku duga, pertanyaan itu akan muncul. Sepertinya obrolan ringan ini menyenagkan. Aku yang menayakan namanya terlebih dahulu. Tentu saja, aku harus memberi tahu namaku juga, siapa namaku. Lagi pula aku tidak pernah keberatan orang lain mengetahui namaku. Mungkin lebih tepatnya aku ingin orang-orang tahu namaku.

            "Yasmin"

            "Nama yang indah,"

            "Terimakasih"

            "Saya pernah dengar, nama yang indah, hanya dimiliki oleh orang-orang yang memang pantas dikatakan demikian."

Aku tertegun mendengar kata-katanya, seperti malu tapi aku senang, seperti lucu tapi aku terhanyut. Kata-katanya sederhana, tapi kata-kata itu belum pernah diberikan padaku oleh orang padaku. Mungkin ini yang disebut dengan kekuatan kata-kata untuk mempengaruhi orang lain.

"Terimakasih sekali lagi, tapi dari mana anda mendengar kata-kata sedemikian itu. Bukankah kata-kata itu lebih tepat digunakan untuk merayu?"

Kali ini pemuda bernama Hito itu tidak membalas. Ia mengambil segelas kopi lalu meminumnya. Tubuhnya yang dari tadi condong ke depan kini ditariknya kebelakang bersandar. Apakah ia malu dengan pertanyaanku? Sehingga ia memilih untuk berdiam diri? Sebaiknya ia segera menjawab pertanyaanku itu, agar obrolan ini tetap menyenagkan.

"Mbak Yasmin sendiri, selalu saja saya melihat mbak membaca koran di warung ini."

"Oh.. ini adalah kebiasaan saja, saya suka membaca koran."

"Jadi seperti itu, saya lebih suka meliahat berita di televisi dibandingkan membaca."

"Ya, itu lebih mudah dilakukan"

Kami berhenti melalukan obralan sejenak, sebelum obrolan sempat dilanjutkan Hito pergi meninggalkan warung. Ia mengucapkan terimakasih kepadaku atas waktu yang aku berikan kepadanya. Aku membalasnya dengan senyuman sambil berfikir bahwa ia akan kembali datang besok atau mungkin lusa. Mungkin saat itu tiba kami akan berada pada obrolan yang lebih menyenagkan dari hari ini.

Keesokan harinya, pemuda itu  tidak mengunjungi warung. Mungkin besok ia akan datang. Sebenarnya hari ini aku sudah menyiapkan kata-kata untuk menyapanya. Tapi kata-kata itu bisa aku simpan. Perasaanku tidak lagi sepi dan berbeda. Kali ini aku memilih untuk sekedar duduk-duduk di depan warung melihat jalan raya dibandingkan membaca koran di dalam warung. Kata-kata pemuda itu berpengaruh dalam pada diriku. Sepertinya kini aku menantikan kedatangannya.

Lusa ia tak datang juga, aku menantinya kembali untuk esok,atau bahkan untuk lusa. Aku sangat berharap ia datang ke warung lagi. Apakah mungkin ia sedang sibuk? Pikiranku bertanya-tanya sekaligus menjawabnya sendiri, aku memaksa diriku untuk tenang. Lagi pula ini bukan waktu yang lama, lagi pula tidak biasanya aku menantikan seseorang seperti ini.

Kemudian lima hari telah berlalu, satu minggu, dua minggu, dan tiga minggu. Kemana perginya pemuda bernama Hito itu? Aku menjadi gelisah. Aku berdoa ketika aku sendiri tidak peduli akan doa. Doa-doaku yang bimbang adalah harapanku yang cemas. 

Pemuda itu aku merindukannya untuk kembali ke warung ini. Alasan mengapa pemuda itu terlihat berbeda ketika terakhir kali aku bertemu dengannya adalah karena aku sedang jatuh cinta. Padanya dan kehadirannya. Bagaimana munkin aku jatuh cinta, kurasa, di waktuku yang saat ini tak lagi pantas bermesra-mesra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun