Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya lahir dari niat yang baik, membantu anak-anak Indonesia untuk mendapatkan asupan gizi yang cukup agar tumbuh sehat, cerdas, dan berprestasi. Ide ini disambut hangat oleh banyak pihak, mulai dari pemerintah daerah, sekolah, hingga masyarakat. Negara hadir untuk menyehatkan rakyatnya melalui penyediaan makanan bergizi yang dapat diakses semua kalangan, terutama masyarakat berpenghasilan rendah.
Niat Baik Berujung Petaka
Setiap hari, ribuan kotak makanan dibagikan ke sekolah-sekolah dengan harapan bisa menjadi simbol kepedulian sosial sekaligus wujud nyata perbaikan gizi bangsa. Akan tetapi, siapa bisa menebak, program yang awalnya penuh pujian itu justru berubah menjadi bencana ketika sejumlah penerima manfaat program MBG termasuk anak-anak sekolah, dilaporkan mengalami keracunan massal setelah mengonsumsi makanan dari program tersebut. Publik terheran-heran, pemerintah dan pengelola program sibuk mencari siapa yang salah. Di balik hiruk pikuk tersebut, sebenarnya terdapat akar masalah yang jauh lebih mendalam. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana mungkin program yang dirancang untuk menyehatkan justru membahayakan? Setelah ditelusuri, ternyata akar masalahnya tidak terletak pada niat atau pendanaan, melainkan pada kegagalan pengelolaan manajemen, khususnya pada aspek pengendalian atau controlling.
Niat Baik Saja Tidak Cukup
Dalam teori ilmu manajemen klasik, ada empat fungsi utama yang menjadi dasar dari semua kegiatan organisasi, yaitu Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling (POAC). Keempatnya ibarat roda gigi yang saling terhubung. Bila satu tidak berfungsi, maka sistem akan pincang.
Dalam kasus MBG, pengelola baru sejatinya sudah menjalankan tiga fungsi pertama planning, organizing, dan actuating dengan cukup baik. Pengelola telah merencanakan (planning) program dengan baik (menyusun anggaran, menentukan menu bergizi, serta menetapkan target sasaran penerima), mengorganisasi (organizing) dengan membentuk struktur kerja (menggerakkan tim lapangan, melaksanakan program sesuai jadwal, menunjuk penyedia bahan pangan, menetapkan jadwal distribusi, hingga merancang alur kerja dapur umum), dan telah melaksanakan (actuating) rencana tersebut di lapangan (menggerakkan staf, memotivasi relawan, dan menjalankan program secara operasional). Akan tetapi, di balik gegap gempita peluncuran program dan euforia keberhasilan awal, satu fungsi manajemen terpenting yang terabaikan dan terlewatkan sehingga belum dilaksanakan dengan baik dan benar yaitu terkait dengan pengendalian (controlling) terhadap proses pelaksanaan.
Seperti dijelaskan oleh Dr. Rashmi Chhabra dalam buku "The Art of Management: Principles, Practices and Strategies for the 21st Century" tahun 2025, fungsi pengendalian (controlling) bukanlah sekedar memeriksa hasil pekerjaan di akhir kegiatan, tetapi sebuah sistem proses berkelanjutan untuk memastikan setiap langkah organisasi berjalan sesuai dengan standar, tujuan, etika dan nilai yang telah ditetapkan. Tanpa fungsi pengendalian (controlling) ini, organisasi berjalan ibarat mobil tanpa rem cepat di awal, tetapi berbahaya di akhir, bahkan perencanaan terbaik pun bisa berubah menjadi bencana.
Di Mana Letak Kegagalan?
Sayangnya, dalam pelaksanaan MBG, mekanisme pengawasan tidak dijalankan secara ketat. Pengelola MBG ternyata belum memiliki mekanisme pengawasan yang sistematis Tidak ada sistem yang memantau kualitas mutu bahan makanan setiap hari yang konsisten, bahan makanan datang dari berbagai pemasok tanpa uji kelayakan berkala. Tidak ada petugas khusus yang memeriksa tanggal kadaluwarsa atau kebersihan bahan.
Dapur pengolahan tidak diaudit secara rutin dan tidak memiliki standar sanitasi yang jelas, standar kebersihan sering kali diabaikan karena dikejar target waktu. Petugas kebersihan bekerja tanpa panduan teknis yang memadai. Makanan yang seharusnya disimpan pada suhu tertentu didistribusikan tanpa pendingin yang layak. Akibatnya, makanan mudah basi sebelum sampai ke penerima. Bahkan, ketika muncul keluhan dari penerima manfaat tentang rasa atau aroma makanan yang tidak biasa, laporan itu tidak langsung ditindaklanjuti karena tidak ada saluran pelaporan yang jelas. Setelah insiden pertama terjadi, tim tidak segera melakukan audit internal atau revisi SOP, sehingga kesalahan yang sama berulang di tempat lain. Akibatnya, kesalahan kecil yang seharusnya bisa diperbaiki sejak awal justru berkembang menjadi krisis besar, puluhan orang mengalami keracunan, program dihentikan sementara, dan kepercayaan masyarakat pun menurun drastis.