Mohon tunggu...
Mochammad Mukti Ali
Mochammad Mukti Ali Mohon Tunggu... CEO Global Teknik Engineering dan Rektor Universitas INABA

Guru Besar di Global Academy of Financial and Management (GAFM) pada bidang Strategi Manajemen Bisnis dan Manajemen Pemasaran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Produktivitas dan Upah

22 September 2025   17:24 Diperbarui: 22 September 2025   17:24 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar antara Upah dan Produktvitas (Mukti.Dok.)

Aksi demonstrasi buruh di Indonesia yang menuntut penghapusan praktik upah murah dan sistem outsourcing yang dianggap merugikan pekerja mencerminkan persoalan klasik hubungan antara produktivitas dan upah. Gladys Lopez Acevedo dalam buku "Wages and Productivity in Mexican Manufacturing" Tahun 2003, menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas di Meksiko banyak dipengaruhi oleh investasi dalam pendidikan, pengalaman kerja, dan keterbukaan terhadap perdagangan global. Hasilnya, kenaikan produktivitas di perusahaan manufaktur bisa mendorong kenaikan upah yang lebih stabil, asalkan keuntungan produktivitas tersebut dialirkan kepada pekerja. Namun, di Indonesia, meskipun ada pertumbuhan produktivitas di beberapa sektor seperti manufaktur ekspor, buruh masih sering menilai distribusi hasil pertumbuhan itu belum adil, sehingga kesenjangan antara produktivitas dan upah tetap menjadi pemicu utama ketidakpuasan.

Sementara itu, penelitian Dorte Verner dalam publikasi dengan judul "Wage and Productivity Gaps: Evidence from Ghana" Tahun 1999, menemukan bahwa di negara berkembang, struktur pasar tenaga kerja cenderung tersegmentasi. Dalam kondisi tersebut, tidak semua kelompok pekerja menikmati kenaikan upah seiring peningkatan produktivitas, karena akses terhadap pekerjaan dengan produktivitas tinggi biasanya terbatas hanya pada pekerja dengan posisi lebih formal atau yang memiliki serikat kuat. Situasi ini sangat relevan dengan Indonesia, di mana pekerja outsourcing dan kontrak sering kali menerima upah lebih rendah meski mengerjakan pekerjaan dengan produktivitas yang sama seperti pekerja tetap. Hal ini menciptakan kesenjangan upah yang dirasakan tidak adil dan menjadi bahan bakar utama aksi-aksi protes.

Lebih jauh lagi, laporan OECD yang berjudul "The Role of Firms in Wage Inequality: Policy Lessons from a Large-Scale Cross-Country Study" Tahun 2021, menegaskan bahwa perbedaan antar perusahaan dalam menentukan upah menyumbang porsi besar ketimpangan upah global. Artinya, perusahaan dengan produktivitas tinggi tidak otomatis memberikan upah tinggi, tergantung kebijakan internal dan kekuatan pekerja dalam bernegosiasi. Dalam konteks Indonesia, perusahaan multinasional di sektor elektronik, tekstil, dan otomotif yang mencatat produktivitas tinggi sering kali tetap menahan struktur upah agar tetap rendah dengan alasan daya saing global. Akibatnya, ketimpangan antar-perusahaan makin tajam, memperlemah rasa keadilan di kalangan pekerja, dan menimbulkan gesekan sosial.

Kasus yang terjadi dapat dilihat pada sektor tekstil dan garmen di Jawa Barat, yang merupakan salah satu basis industri padat karya terbesar di Indonesia. Perusahaan-perusahaan garmen besar yang berorientasi ekspor mencatat produktivitas cukup tinggi karena permintaan global, namun buruh kerap hanya menerima upah setara atau sedikit di atas upah minimum provinsi. Buruh kontrak dan outsourcing terutama di bagian pemotongan dan finishing, sering menerima upah lebih rendah meskipun output kerja mereka sama. Kondisi ini memicu demonstrasi besar-besaran di Bandung dan sekitarnya pada tahun 2024, di mana buruh menolak formula penetapan upah minimum yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan hidup layak.

Contoh lain terdapat di Batam Kepulauan Riau yang menjadi pusat industri elektronik dan komponen otomotif. Banyak perusahaan multinasional di sana memanfaatkan tenaga kerja muda dengan produktivitas tinggi karena jam kerja panjang dan sistem kerja shift. Akan tetapi, meskipun nilai ekspor dari kawasan ini meningkat signifikan, upah riil buruh tidak sebanding dengan produktivitasnya. Serikat buruh di Batam berulang kali menyoroti ketidakadilan ini, terutama karena perusahaan cenderung mengandalkan skema kontrak jangka pendek untuk menekan biaya tenaga kerja, sehingga pekerja kehilangan kepastian upah jangka panjang.

Melihat kondisi ini, solusi untuk ketenagakerjaan di Indonesia dapat dibagi ke dalam beberapa tingkatan. Jangka pendek, pemerintah dapat memperkuat penegakan hukum ketenagakerjaan agar praktik outsourcing dan kontrak tidak disalahgunakan, serta memastikan bahwa upah minimum benar-benar dijalankan oleh perusahaan tanpa celah.

Jangka menengah, dibutuhkan investasi lebih besar dalam pelatihan vokasional dan program peningkatan keterampilan (reskilling dan upskilling) agar pekerja dapat mengimbangi tuntutan produktivitas yang lebih tinggi, sebagaimana direkomendasikan oleh studi Acevedo di Meksiko. Dengan demikian, perusahaan tidak hanya didorong untuk membayar lebih adil, tetapi juga memiliki tenaga kerja yang lebih produktif.

Solusi Jangka panjang, terkait kebijakan di sektor industri harus diarahkan untuk memperkecil kesenjangan antar-perusahaan dengan mendorong transfer teknologi dan praktik bisnis inklusif di perusahaan kecil dan menengah. Sejalan dengan temuan OECD, kebijakan ini akan membantu mengurangi ketimpangan upah yang bersumber dari perbedaan produktivitas antar-perusahaan.

Dengan mengkombinasikan pendekatan perlindungan buruh, peningkatan keterampilan, serta reformasi struktural di tingkat industri, Indonesia dapat memperkecil jurang antara produktivitas dan upah. Kasus di Jawa Barat dan Batam menunjukkan bahwa produktivitas tinggi tanpa distribusi upah yang adil hanya akan memperbesar konflik industrial. Oleh karena itu, solusi yang mengintegrasikan kebijakan upah minimum, investasi pada keterampilan tenaga kerja, dan pembenahan praktik perusahaan menjadi kunci untuk menciptakan hubungan industrial yang lebih berkelanjutan di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun