Laki-laki itulah masih duduk dalam bangku bambu di bawah pohon yang sudah sekarat itu. Matanya memandang lurus ke depan. Ke arah sungai yang airnya semakin keruh.Â
Ada burung srigunting terbang meliuk di antara bambu bambu yang selama ini setia menjaga setiap jengkal tanah di pinggir kali dari gerusan air hujan. Seekor katak melompat tepat di antara kaki laki-laki itu.Â
Di angkasa sana, semburat warna jingga seakan ditorehkan oleh pelukis paling hebat. Sapuan kuasnya begitu kuat. Warnanya memiliki karakter agung.Â
"Ada yang mati lagi, " gumam laki-laki itu pada dirinya sendiri.Â
Angin seperti sedang berkejaran dengan waktu yang kian cepat saja larinya. Menerobos celah celah pohon bambu.Â
"Tak ada yang bisa menghentikan kerakusannya, " mata laki-laki itu menahan geram.Â
Laki-laki itu memejamkan mata. Dirapalkannya doa doa yang dia dapat dari Wak Kardi. Semakin lama semakin cepat laki-laki itu mengeja setiap kata dalam doanya. Semakin kuat hembusan angin dari arah kali.Â
"Tak boleh menyerah. "
Beberapa kali laki-laki terbanting di atas bangku sehingga muncul suara kedubrak yang menggiriskan. Setiap kali terbanting, beberapa detik kemudian dia sudah duduk sempurna lagi.Â
Angin itu semakin kencang. Suara riuhnya bagaikan limpahan suara paling dahsyat. Dan telinga laki-laki itu mencoba untuk menutup rapat rapat dari lubangnya. Dan suara angin itu membentur tembok gaib.Â
Malam semakin rendah. Gelapnya sudah mulai menutup aliran air kali. Â Dan laki-laki itu masih sibuk berjuang mengalahkan bayangan bayangan itu.Â
Ya, hanya laki-laki itu yang bisa membaca warna senja.Â