Ini cerita tentang adikku. Yang entah kenapa mendadak menjadi pendiam. Dan kadang seperti sedang mendengarkan pembicaraan. Kepalanya seperti sedang mengangguk mengiyakan orang yang ada di depannya.Â
Juga cerita tentang rumah tua yang aku dan keluargaku tinggali sekarang. Ayahku anak bungsu. Dua kakaknya bekerja di kota lain dan tinggal di sana. Akhirnya, diputuskan rumah itu untuk ditinggali ayah setelah kematian nenek. Kakek sendiri sudah lebih dulu pergi ke dunia sana.Â
Ayah bilang, rumah itu dibeli kakek setelah geger 65. Â Tadinya, ayah sekeluarga tinggal di pinggir kota. Kemudian kakek membeli rumah ini yang berada di tengah kota.Â
Tapi, aku sendiri pernah dengar selentingan dari tetangga, kalau rumah yang aku tinggali ini hasil kakek merebutnya. Rumah ini milik partai terlarang. Ketika geger 65, mereka di tangkap dan dibuang. Rumah ini langsung dimiliki kakekku yang merupakan aparatur negara.Â
Entahlah.Â
"Ada apa, Dik? "
Adikku tak marnjawab. Dia malah melengos menandakan kalau dirinya tidak suka ditanya atau bahkan dicampuri urusan pribadinya.Â
"Cerita ke kakak. "
Raut mukanya langsung bersungut. Sorot matanya berubah begitu tajam. Seperti hendak menerkam musuh paling dibenci.Â
"Jangan ganggu! "
Untung kakakku menarik tanganku dengan cepat. Hingga aku terhindar dari terkam annya.Â
Kemudian adikku kulihat asik kembali menghadap tembok itu. Kembali senyum mengembang di wajah adikku.Â
Dan itu bertahun-tahun lamanya.Â
Aku mendengarkan suara-suara itu. Mereka ketakutan. Kasihan. Jika aku tak mau mendengarkan, mereka bilang akan pergi jauh.Â
Pakaian mereka lusuh.Â
Setiap kata katanya juga seperti foto-foto Daido Moriyama. Penuh misteri. Seakan ingin bicara tapi kata kata sudah tak ada lagi pada mereka.Â
Kata adikku ketika sudah tak bisa mendengar suara-suara dari balik tembok.Â