Kaget banget pas dengar ada telepon dan di layar tertulis, Wini Kampung. Sudah sejak lebaran tak berkabar kabar dengan kampung. Sehingga suara dering telpon itu seakan mengingatkan, masih ada ibumu di kampung.Â
Wini itu ada paling bontot. Baru dua tahun menikah. Kebetulan suaminya guru SD di kampungku sehingga Wini bisa tetap di kampung menemani ibu di kampung.Â
Dalam adat kampung ku, anak bontot memang bertanggungjawab terhadap orang tua. Tak boleh ke mana-mana hingga jadi patok.Â
Ibu juga anak bontot. Ketika kakak kakaknya beterbangan ke seluruh jagad, ibu harus tetap di kampung menunggui nenek.Â
Di belakang rumah ibu itulah tumbuh pohon besar. Saya sendiri lupa nama pohon itu karena pohon itu cuma ada di kampungku. Tak pernah berbuah atau mungkin memang tak ada buahnya. Daunnya yang lebat sekali. Waktu kecil, aku tak berani memandang pohon itu.Â
Pohon itu yang menanam kakek. Ditanam bertepatan dengan kelahiran ibu. Ditanam di sebelah sumur.Â
Dulu sumur itu katanya selalu kering saat kemarau. Tetapi setelah pohon itu besar, tak pernah lagi sumur kering. Kalau kemarau banyak tetangga ngangsu air di sumur itu. Ibu senang jika ada tetangga yang minta air sumur.Â
"Ya, dibereskan saja, Win. Suruh tukang yang ada di kampung membereskan, " kataku melalui telepon.Â
Wini di seberang tidak menjawab.Â