Malam terus merambat bersama gelap yang pekat. Â Suara jangkrik tak terdengar. Mungkin mereka terlalu capai untuk terus bernyanyi. Â Atau mungkin sibuk karena memang sekarang sedang musim kawin?
Laki laki itu terus berjalan. Â Menyusuri pematang hanya dengan mengeja dari kilatan cahaya dari rokok yang dihisap nya dengan hati yang galau.
Kebun Wa Kalim.
Ke sanalah langkah nya menuju. Â Di sana ada pohon pete yang buah nya lebat dengan biji besar. Â Siapa pun yang melihat pelototan biji pete Wa Kalim pasti akan mengeluarkan air liur.
Dan setiap tahun pohon pete itu selalu berbuah lebat sekali. Â Entah kenapa. Mungkin karena Wa Klaim selalu membagi hasil buah petenya menjadi tiga. Â Ya, Wa Kalim selalu membagi buah petennya untuk kepentingan masjid. Â Sepertiga untuk tetangga. Â Dan baru sepertiga lagi untuk dirinya.
Tak ada yang berani mencuri pete Wa Kalim. Â Setiap ada orang jahat yang hendak mencuri pete, pasti akan terlihat mondar mandir di bawah pohon pete hingga matahari muncul mengelus peluh mereka.
Tapi, malam ini, ia bertekad memanen pete Wa Kalim. Â Sekaligus pengin menguji ilmu yang sudah dihatamkannya.
Dan ia memang sedang butuh uang. Â Anak laki lakinya sudah sarjana tapi belum diterima kerja. Â Dan syarat diterima harus pakai uang.
"Bapak pergi dulu," katanya.
"Hendak ...."
"Kau Lekaki. Kau harus kuat. Â Kelak kau sendiri."