Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kepolisian: Tidak KKN adalah Komitmen Kami

25 November 2011   15:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:12 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_151769" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Tulisan itu begitu indah dan mengena di hati pembacanya.  Bila Anda hidup di Jakarta, tulisan itu dapat Anda temukan di sisi sebelah kanan Museum Polri di Jalan Trunojoyo Jakarta Selatan. Tulisan yang dicetak di media digital printing itu begitu jelas dan mencolok. Rakyat berharap tulisan-tulisan reminding seperti itu dapat ditemukan di seluruh kantor, gedung tidak hanya gedung kepolisian, namun juga gedung institusi pemerintah lainnya. Grafiti sederhana tetapi penuh makna itu sungguh menggugah rasa cinta negara dan bangsa kita. Tidak saja karena pemasangnya adalah pihak kepolisian yang sementara ini banyak disorot karena tugas-tugas penegakan hukumnya, namun spanduk itu akan terus menjadi pengingat bagi korp kepolisian secara umum, tidak terkecuali polisi lalu lintas yang paling berpotensi melakukan tindak korupsi kecil. Secara bahasa, sebetulnya pemasangan spanduk yang berada di Museum Polri itu juga menyimpan banyak pertanyaan. Entah apa maksud dari pemilihan tempat itu. Mengapa kok spanduk itu berada di area Museum, mengapa tidak di pos-pos polisi di sepanjang jalan Indonesia. Mengapa bukan pula di kantor-kantor kepolisian baik di Polsek, Polres atau kantor yang levelnya lebih tinggi dari itu. Dilihat dari perspektif semantik bahasa, pemilihan tempat itu dapat dimaknai bahwa kandungan tulisan itu semacam penghibur bagi pembacanya. Atau mungkin malah menandakan, bahwa harapan manis itu tinggal menjadi kenangan sehingga harus diletakkan di museum. Artinya apa kepolisian merasa kesulitan untuk memegang teguh konten spanduk itu. Padahal kita semua paham betul apa itu museum. Museum itu berisi benda-benda kuno dan peninggalan sejarah. Sehingga siapapun mereka yang ingin melihat peninggalan sejarah maka pergilah ke museum. Di sana selain benda-benda bersejarah juga berisi benda-benda antik dan mungkin literatur-literatur yang disesuaikan dengan kelas kelompok atau kesejarahan. Kita semua, rakyat Indonesia tentunya mengharapkan semua pejabat pemerintah, penegak hukum lain seperti kejaksaan, atau hakim bisa terus menggalakkan penegakan hukum yang setegas-tegasnya. Jangan sampai hukum itu ibarat batu mentah pematung yang bisa direkayasa semau si pematung. Mau dibuat patung kuda, patung tokoh tertentu, atau mungkin karena depresi malah akan disulap menjadi batu kerakal bangunan. Kita sering menyaksikan tindakan-tindakan kecil yang dilakukan oleh beberapa oknum penegak hukum yang begitu lihai bermain api. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa ribuan bahkan jutaan mata memandang dan menelisik tindakan mereka. Sehingga dengan mudah kita semua merekayasa pemahaman kita, bahwa oknum itu melakukan kecerobohan yang seharusnya tidak boleh terjadi. Kita memang tidak melihat tindakan bodoh jaksa atau hakim seperti yang selama ini banyak terendus. Keduanya tentu bisa bermain secara cantik, dan mungkin hanya Tuhan, Malaikat, KPK dan Setan saja yang mengetahui tindakan kotor mereka. Karena mereka memang tidak tugas di tengah keramaian yang bisa disaksikan khalayak. Mereka bermain di kantor, restoran, hotel dan gedung-gedung mewah lainnya. Wajar saja rakyat tidak mengetahuinya, kecuali yang memang memasang seribu mata secara terorganisasi. Hal ini tentu sangat berbeda dengan polisi yang, misalnya dengan mudah dapat diterka. Sering kita saksikan banyak polisi lalu lintas di jalan yang menyelesaikan tugas penilangan dibawa ke dalam pos. Entahlah apa yang dilakukan di dalam pos polisi yang cenderung gelap  itu. Masyarakat pun berhak untuk menilai tentang kecenderungan itu. Harusnya kritikan demi kritikan dari masyarakat dapat dijadikan cambuk bagi korps kepolisian dan penegak hukum lainnya untuk melakukan terus pembenahan diri dan kinerja. Apabila visi semua korps itu jelas, semua anggota juga harus bersatu padu menciptakan visi itu menjadi kultur kerja mereka. Dalam kasus tilang misalnya, untuk menghindari kecurigaan masyarakat cukup diselesaikan di pinggir jalan, tidak perlu diajak masuk ke dalam pos. Dengan demikian, akan banyak kalangan yang lewat lebih menghormati hukum yang ada dan juga tidak perlu nego atau kongkalingkong antar penegak dan pelanggar hukum. Penegakan hukum seharusnya juga bisa adil dan tidak berpihak. Ketegasan para penegak hukum dalam implementasi hukum itu sendiri sejatinya adalah konvensi yang tidak tertulis. Artinya kedisiplinan yang ditegakkan oleh penegak hukum akan dengan sendirinya mendidik masyarakat bahwa beginilah sejatinya hukum itu ditegakkan. Pengalaman yang hingga kini masih terurai adalah ketika saya melewati garis sekitar 30 centi meter di salah satu ruas jalan. Karena pelanggaran kecil itu, saya diberi hormat oleh oknum dan diminta untuk ke Pos. Di sana ada beberapa polisi yang duduk-duduk. Saya kemudian disodori foto copy jenis pelanggaran dan nominal denda yang harus saya bayar. Waktu itu saya mencoba menawar, Rp. 30.000,00. "Mas lihat saja, berapa, khan sudah jelas" kata oknum itu. Di copy itu memang tertulis Rp. 50.000,00 untuk jenis pelanggaran yang saya lakukan. Akhirnya saya merogoh kantong juga sejumlah itu. Padahal ketika itu, saya lihat jalan raya juga banyak pengendara motor melakukan hal seperti saya, namun tidak ada treatment apa-apa. "Dasar nasib", gerutuku waktu itu. Semoga kejadian lucu ini tidak akan terjadi, namun mungkinkah hal itu terjadi di negeri ini. Semoga pesan dari spanduk di museum Polri itu tidak hanya sebagai bahan lelucon masyarakat, karena antara lisan dan tindakan sungguh berbeda. Karena kita semua cinta Polisi.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun