Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jokowi, Superman, dan Filsafat Jawa

26 Desember 2012   09:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:01 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hingga detik ini penulis belum menemukan pejabat publik yang ikhlas menjadi pejabat seperti Joko Widodo dan Ahok. Keikhlasan itu nampak dari cara mereka membawa diri yang seakan tidak terbumbui oleh motif-motif poilitis dan sejenisnya.

Dan kita pun dapat menikmati berita-berita tentang lompatan-lompatan yang terus diciptakannya dalam memimpin Jakarta. Detik demi detik, para pewarta terus mengupdate dan menguntit plus mengawasi keduanya. Dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari acara yang satu ke acara yang lain, dari masalah yang satu ke masalah yang lain. Publik seakan menanti jatuhnya komet kesejahteraan untuk menunggu denyut dan gerak sang pemimpin.

Jokowi memang tidak sama dengan Ahok. Gaya kepemimpinannya pun jauh berbeda, pun gaya bicaranya kepada anak buah dan para pencari berita. Keberbedaan itu justru akan memperkuat sisi-sisi masing-masing dan dapat menjalankan peran masing-masing. Kita semua berharap "cemistry" mereka tidak akan runtuh seperti para pasang pemimpin yang akur rerentetan ketika mulai dan hancur berantakan ketika di tengah perjalanan.

Jokowi sebagai orang paling sentral dalam pemerintahan DKI Jakarta saat ini, terus menjadi perbincangan. Gaya kepemimpinannya juga "klik" dengan keinginan rakyat, nyantai, tegas, motivatif, merakyat dan menjadi problem solver bagi masalah yang dialami rakyatnya.  Maka tidak aneh ketika Jokowi menyapa rakyatnya, respon mereka sangat luar biasa, bahkan hingga ada yang menangis karena diperhatikan oleh pemimpinnya.

Biacara Jokowi dan masalah yang dihadapinya di Jakarta, memang menarik. Sisi menarik yang sering menjadi perhatian adalah tindakan merakyatnya, mengayomi, mendengarkan keluhan, menghibur dan membahagiakan rakyatnya.

Dalam bertindak seseorang juga tidak akan lepas dari cara berpikir dan berpandang terhadap sesuatu. Kita mungik sering melihat pemimpin lain yang mencoba meniru cara Jokowi mendekati rakyatnya, namun dari sisi "udang" biasanya pemimpin itu lebih besar, sehingga tidak mampu menutupi keinginan "besar"nya di balik proses pendekatan kepada rakyatnya.

Hal penting yang mungkin tidak dapat lepas dari diri pemimpin adalah kejujurannya dalam berbagai masalah. Sebagaimana kita maklumi bersama, isu terbesar di Jakarta saat ini adalah kemacetan dan banjir. Dua isu besar ini seakan menjadi beban bagi Jokowi dan Ahok dalam menghadapi Jakarta.

Perihal banjir misalnya, untuk bersikap jujur, Jokowi mengatakan bahwa beliau bukan seorang Superman, sosok hebat yang dapat menyelesaikan segala masalah dengan cepat dan tepat. "Saya bukan Superman, dewa, tukang sulap, yang ngebalikin tangan bisa langsung hilangkan banjir" ucapnya di Jakarta (25/12). Walaupun demikian upaya terus dilakukan hingga saat ini dapat mengurangi 12 titik banjir dari 70 lokasi.

Pun masalah kemacetan, yang penulis yakin pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan masalah kemacetan dalam tempo dekat, dengan system transportasi seperti saat ini, dan tanpa melibatkan banyak pihak. Upaya yang terus digaungkan oleh pemerintah DKI selayaknya terus didukung oleh pengguna jalanan di Jakarta.

Filosofi kepemimpinan Jokowi dengan segala gaya yang mengikutinya adalah hasil tempaan proses perjalanannya yang selama ini beliau lakoni di dalam masyarakat dan sosial di mana beliau berada di dalamnya. Sudutan-sudutan dari beberapa pihak, atau bahkan sanjungan hanya dihadapi dengan nyantai, tanpa terlihat emosi dalam menghadapi segala masalah yang dihadapi.

Dalam filsafat Jawa kita mengenal beberapa nilai yang masih relevan untuk diimplementasikan dan dalam beberapa hal layak untuk dipahami oleh para pemimpin, walaupun hidup di jaman modern dan kosmopolitan seperti Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun