Pernah nggak kamu merasa yakin banget sama suatu hal, tapi ternyata kenyataannya beda jauh? Contohnya, banyak orang percaya kalau tokoh Pikachu punya ekor dengan ujung hitam, padahal aslinya tidak. Atau, ada yang ingat kutipan terkenal dari film Star Wars berbunyi “Luke, I am your father”, padahal dialog aslinya adalah “No, I am your father”. Kalau kamu juga pernah ngalamin hal semacam ini, selamat—kamu mungkin sudah terseret dalam fenomena yang disebut Efek Mandela.
Dari Mana Asal Nama “Efek Mandela”?
Istilah ini pertama kali muncul pada awal tahun 2010-an. Seorang penulis bernama Fiona Broome mengaku kaget saat menemukan banyak orang yang percaya bahwa Nelson Mandela meninggal di penjara tahun 1980-an. Mereka bahkan bisa menceritakan detail “kenangan” itu, seperti melihat liputan berita pemakamannya di TV. Padahal, faktanya Nelson Mandela baru meninggal dunia pada tahun 2013 setelah lama bebas dan bahkan sempat menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan.
Fenomena ini bikin penasaran, karena jumlah orang yang salah ingat bukan hanya satu-dua, tapi ribuan. Dari situlah istilah Mandela Effect lahir, sebagai simbol dari ingatan kolektif yang ternyata salah.
Kenapa Banyak Orang Bisa Salah Ingat Bersama-sama?
Menurut psikologi, ingatan manusia bukanlah rekaman video yang bisa diputar ulang dengan detail sempurna. Ingatan kita lebih mirip potongan puzzle yang kadang hilang, lalu otak secara otomatis “mengisi” kekosongan itu dengan informasi yang terasa masuk akal. Nah, di sinilah masalah mulai muncul.
Kalau otak satu orang saja bisa bikin “rekayasa kenangan”, bayangkan kalau ratusan atau ribuan orang melakukan hal yang sama lalu saling berbagi. Kesalahan itu bisa menyebar luas, apalagi dengan adanya media sosial. Alhasil, sesuatu yang salah malah dianggap benar karena banyak yang meyakini hal serupa.
Selain itu, pengaruh budaya populer juga berperan besar. Misalnya, kutipan film yang sering diparodikan atau logo merek yang sering salah digambar bisa membuat orang lebih percaya dengan versi yang salah. Dalam psikologi, ini disebut false memory atau memori palsu.
Contoh-Contoh Efek Mandela yang Populer
Biar lebih kebayang, berikut beberapa contoh Efek Mandela yang cukup terkenal di seluruh dunia:
Logo KitKat: Banyak orang yakin logo KitKat ada tanda hubung (Kit-Kat), padahal aslinya tidak pernah ada.
Monopoli Man: Ada yang percaya karakter Monopoli Man punya kaca mata monocle, padahal sebenarnya tidak.
“Mirror, mirror on the wall”: Dalam film Snow White, banyak yang mengingat kalimat ini. Padahal, aslinya adalah “Magic mirror on the wall”.
Pikachu: Banyak orang ingat ekor Pikachu ada warna hitam di ujungnya. Faktanya, ekornya kuning polos dengan sedikit cokelat di pangkal.
Star Wars: Kutipan legendaris “Luke, I am your father” sebenarnya tidak pernah diucapkan. Kalimat asli adalah “No, I am your father”.
Kalau dipikir-pikir, contoh-contoh ini kelihatannya sepele, tapi justru di situlah daya tariknya. Orang jadi heran: kok bisa salah ingat massal sampai sebegitu detailnya?
Antara Ilmiah dan Teori Liar
Secara ilmiah, Efek Mandela bisa dijelaskan dengan psikologi memori. Namun, ada juga teori-teori “liar” yang sering berseliweran di internet. Misalnya, ada yang percaya Efek Mandela terjadi karena dunia paralel atau pergeseran realitas, sehingga ingatan kita campur aduk dengan realitas alternatif.
Meskipun terdengar seru dan imajinatif, sampai saat ini belum ada bukti ilmiah yang mendukung teori dunia paralel tersebut. Tapi di sisi lain, teori itu bikin Efek Mandela semakin populer karena orang senang membayangkan kemungkinan di luar logika.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Efek Mandela mengingatkan kita bahwa ingatan manusia ternyata rapuh. Kadang kita merasa sangat yakin dengan sesuatu, padahal kenyataannya bisa saja berbeda. Di era informasi yang serba cepat ini, fenomena ini bisa jadi pelajaran penting: jangan buru-buru percaya hanya karena “banyak orang bilang begitu”.
Alih-alih langsung yakin, ada baiknya kita membiasakan diri untuk cek ulang informasi. Baik itu kutipan, logo, atau bahkan peristiwa sejarah, selalu ada kemungkinan ingatan kita keliru. Dengan begitu, kita bisa lebih bijak dalam menyaring kebenaran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI