Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tong Kosong Itu Berbunyi "Presiden Tiga Periode"

20 Maret 2021   14:42 Diperbarui: 20 Maret 2021   16:34 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kennedy.byu.edu

Di zaman ultra modern ini bila ada kaleng kosong yang dipukul lalu berbunyi "presiden tiga periode", kita dapat mengangkat topi tinggi - tinggi untuk pemikir kuno di Republik Roma 2.530 tahun yang lalu. Mereka justru jauh lebih maju dengan menerapkan prinsip kepemimpin anualiti (presiden satu tahun) dan konsep collegiality, ketua negara dijabat oleh dua orang, sehingga ada penyeimbang.

Bentuk negara monarki menjadi relevan di era modern ketika raja di-cluster hanya sebagai simbol untuk memenuhi kebutuhan rakyat akan mitos pemimpin wasiat langit dan glorifikasi sebagai bangsa. Tapi hal-hal profesional untuk menjalankan pemerintahan ditanggung oleh Perdana Menteri. Hal yang sama juga dilakukan oleh Singapura dalam bentuk Republik.

Konsep Republik menjadi baik bila para aristokrat sesuai panggilannya adalah benar-benar lulus uji dan juara satu di bidangnya. Konsep ini dimodifikasi oleh Swiss. Terdapat majelis tujuh pemimpin yang merangkap sebagai ketua negara, dipanggil Bundesrat, dan di San Marino, jabatan ketua negara dipegang oleh dua orang.

Nah, kita dengan lancang mengadopsi sistem demokrasi. Kita membohongi cucu cicit seratus tahun yang akan datang, bahwa konsep ini secara mengejutkan telah diterapkan an sich (literally) di bumi pertiwi. Konsepnya tidak salah, tapi terlalu mewah. Amerika saja kadang keteteran. Kita terlihat primitif untuk sampai ke demokrasi harfiah.

Partai Republik Amerika sesuai ideologi dasarnya adalah partai konservatif yang percaya bahwa negara seharusnya dipimpin oleh orang-orang yang cakap. Orang-orang Republik yang punya kemampuan mengatur negara, mirip dengan Republik khas Plato, yang mengidamkan aristokrasi.

Sedangkan Partai Demokrat cenderung moderat, dengan memberi laluan luas kepada demokrasi keterwakilan. Orang - orang Demokrat mengedepankan keterwakilan jelata segala rupa di panggung kekuasaan. Sintesis dari dialektika ini adalah keterwakilan berbanding lurus dengan kecakapan yang entah bila.

Apakah di negeri yang semua ingin jadi ketua ini kita sempat berdialektika untuk memungkinkan keterwakilan dan kecakapan menjadi satu tubuh dan berlenggang di karpet merah menuju singgasana istana? Sedangkan, nafsu politik kekuasaan kini sedang berlari kencang menuju garis finish 2024, lalu meninggalkan pikiran jauh di belakangnya. ~ MNT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun