Sementara tugas sastra milenial tidak hanya pengabdian penuh kepada estetika metabahasa, namun juga tidak menanggalkan tugas suci sebagai pembawa pesan etika moral. Sastra dan puisi sebagai kendaraan makna dan aksioma tidak melulu mencitrakan dirinya, namun juga tanggung jawabnya sebagai aksara sosial.
Dalam mengamati dikotomi tradisi dan modernisasi ketika dari keduanya mengandung anasir yang kontraproduktif, Kuntowijoyo telah menggagas Sosiologi Profetik. Pertama, sosiologi profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga akan memberi arah, bidang atau lapangan penelitian.
Kedua, secara epistemologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini agak berbeda dengan positivisme Auguste Comte yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos.
Sosiologi Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu.
Dengan demikian kita tidak hanya membaca dan menulis ulang masa lalu kemudian memaafkannya, namun juga ikut memberi pelurusan dan perlengkapan agar generasi setelah kita memiliki kesadaran kosmik dan keunggulan yang setara kemajuan zaman. ~MNT