Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Jangan Main Akrobat dengan Trias Politika

21 April 2019   09:28 Diperbarui: 28 April 2019   15:24 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam melaksanakan negara, kita menganut ajaran Trias Politika. Montesquieu menggunakan filsafat ketika melahirkan ini, tapi kita menukarnya entah bagaimana caranya, sehingga yang terjadi bukan pemisahan kekuasaan tapi pembagian kekuasaan. Sepertinya sebentuk kompromi, tapi ada yang menyelinap dari pintu belakang. Mereka adalah feodalisme dan politik kekuasaan.

Montesquieu adalah filosof sekaligus pemikir politik Perancis di era pencerahan. Ajaran Trias Politika-nya dianut oleh semua negara demokrasi yakni adanya pemisahan yang tegas antara lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Sejak Indonesia ada, kita menyimpangkan ajaran ini sehingga kekacauan mulai terjadi.

Seperti kata penyair Habel Rajavani, filsafat itu ibu kandung dari semua ilmu pengetahuan yang ditinggalkan anak-anaknya. Sedangkan politik praktis dan filsafat nyaris menjadi dua hal yang bertolak belakang. Dan penulis Amerika Martin L. Gross berujar: kita hidup di sebuah dunia di mana politik telah menggantikan filsafat. 

Bila Trias Politika dilaksanakan secara benar, pemimpin Eksekutif utamanya presiden tidak akan punya kekuasaan superior dan paling menyita atensi publik. Lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif sama kuatnya. Lalu mengapa presiden dan lembaga eksekutif lainnya selalu dominan? Karena kita menggunakan logika politik dan inferioritas feodalisme.

Napoleon Bonaparte benar adanya ketika bersabda "en politique, une absurdit n'est pas un obstacle" (dalam politik, kedunguan itu bukanlah halangan). Kita menyeburkan diri dalam pusaran kedunguan bernegara, sehingga semua perangkat aparatus termasuk  Legislatif dan Yudikatif selalu tunduk pada kekuasaan Eksekutif.

Esensi anggota dewan adalah oposisi, bila justru menjadi pembela Eksekutif, maka kembali ke sabda Bonaparte. Dalam sejarahnya, dewan dibentuk untuk mencegah kesewenang-wenangan raja, bukan duduk bersila bersamanya dan saling topang.

Demikian pula lembaga Yudikatif yang menurut Montesquieu mempunyai kekuasaan untuk mengontrol seluruh lembaga negara yang menyimpang atas hukum yang berlaku pada negara tersebut. Jika Yudikatif justru menjadi alat kekuasaan Eksekutif, maka Bonaparte tidak salah mengatakan mereka dungu.

Penyimpangan dari ajaran Trias Politika inilah yang kemudian menyebabkan negeri ini lari dari substansi. Idealnya bila ketiga lembaga berfungsi secara equal, negara akan berjalan secara paripurna, dan demokrasi dapat menemukan jalan pembenarannya.

Tidak ada kewenangan superior yang diberikan kepada masing-masing lembaga dan mereka memiliki kedudukan yang sama kuat. Karena filsafat tidak mungkin salah dan politik justru sebaliknya. Untuk tujuan-tujuannya terkadang politik berlari secepat bajingan untuk meninggalkan pemikiran jauh di belakangnya.

Lembaga Legislatif dan Yudikatif tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi bila berhadapan dengan kekuasaan bahkan rela menjadi subordinat, salah satu penyebabnya karena mental feodalisme yang sukar memisahkan pemimpin di negara demokrasi dengan raja-raja zaman perunggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun