Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Inilah Musuh bersama Spesies Manusia Masa Depan

3 April 2019   11:48 Diperbarui: 3 April 2019   11:54 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: cdn2.tstatic.net

Tidak ada satu bangsa pun yang maju secara teknologi tanpa penghancuran kreatif (creative destruction) yang sejak lama dielaborasi oleh Joseph Scumpeter sebagai syarat agar aliran ekonomi dapat bertahan.

Tidak ada bangsa yang tahan begitu lama membeku dari inovasi teknologi yang telah menggerakkan zaman. Bila disrupsi inovasi masih didefinisikan sebagai sesuatu yang mengganggu kelanjutan industri konvensional, itu adalah tanda-tanda untuk disebut sebagai reruntuhan. Namun kita akan tiba pada suatu masa, penghancuran kreatif justru akan menjadi musuh bersama spesies manusia.

Disrupsi adalah istilah yang pertama kali dipopulerkan Clayton Christensen, ekonom dari Harvard Business School pada 1995. Fenomena ini  ditandai dengan munculnya berbagai inovasi, teknologi, platform, dan model bisnis baru untuk memenuhi selera publik yang menuntut kebaruan dan memenangkan kedigdayaan melalui pengorbanan yang sedikit.

Teknologi terus menerus melesat untuk melayani masyarakat pasar. Lalu bagaimana dengan pihak yang dilayani, ketika eksistensi mereka sendiri sedang terancam. Masa depan sehadap dengan dilema terbesar, di satu sisi kemeriahan inovasi harus bisa terserap, di sisi lain algoritma robotika semakin melucuti otak dan otot manusia.

Manusia pengangguran yang dicampakkan oleh industri otomasi tidak akan membeli apa-apa. Sementara sistem ekonomi sebagai sebuah dinamika yang kontinum tidak akan bisa menjauh dari hukum besi penawaran dan permintaan (the law of supplay and demand).  

Kita akan berada pada titik kritis, akankah memenangkan eksistensi kita yang lemah atau melanjutkan proyek inovasi yang pasti akan menyikut. Bisakah filsafat menjinakkan dan menahan laju inovasi demi manusia yang mestinya mereka layani.

Mari kita tinjau melalui formulasi filosof Martin Heidegger (1889-1976) seorang penggagas fenomenologi. Teknologi kata Heidegger, berada di antara manusia dengan dunia. Alat menghubungkan kita dengan dunia, aparatus penghubung. Benda menentukan siapa kita.

Semua benda itu menurutnya adalah  readiness to hand (siap pakai), keberadaannya ditujukan bagi sesuatu, sehingga teknologi tidak akan pernah bisa netral, karena ada motif dan ada akibat. Jika teknologi hanya dipahami sebagai yang instrumental, maka dia telah tercerabut dari esensinya.

Kita berharap Heidegger masih didengar oleh para inovator akhir zaman: teknologi tidak bisa dibiarkan netral, ia harus memihak manusia, di tengah seluruh kelengkapan telah dipersiapkan untuk menggantikan kita. Robot-robot super cerdas dan kuat akan melenggang di tengah manusia. Ini akan menjadi penghancuran kreatif babak akhir.

Jangan bayangkan mereka seperti sekarang serupa tengkorak titanium dengan mata kristal yang berpijar, bahkan mereka bisa lebih tampan, lembut dan cantik, juga lebih berperasaan sebagai sebuah penyempurnaan dari cyborg (cybernetic organism): hasil perkawinan manusia dengan robot. Dan suatu masa manusia akan benar-benar menikahi robot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun