Mohon tunggu...
M Najibur Rohman
M Najibur Rohman Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai

Semarang

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korupsi dan Kegemasan Kita yang Berulang-ulang

5 April 2020   14:06 Diperbarui: 8 April 2020   07:08 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perang melawan korupsi, sampai hari ini, tidak pernah gampang. Publik berulangkali dibikin gemas dan kecewa. Gemas diakibatkan betapa tidak ada selesai-selesainya tindak kejahatan ini. Antara satu kasus dengan kasus lainnya seakan susul menyusul. Dan kecewa karena sistem yang seharusnya membuat efek jera atau kapok para koruptor tidak berjalan dengan semestinya. Bahkan kita sempat dikagetkan dengan "sel mewah" dari para narapidana korupsi.

Kegemasan dan kekecewaan ini ternyata tidak luntur sekalipun di tengah pandemi virus corona atau Covid-19. Ketika baru-baru ini muncul isu untuk memberikan pembebasan bersyarat terhadap narapidana korupsi, publik langsung bereaksi. Menteri Hukum dan HAM kita dianggap mau mengambil kesempatan di balik kesempitan. 

Alasan kemanusiaan menjadi salah satu dasar untuk wacana melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur ketat pemberian remisi, asimilasi ataupun pembebasan bersyarat, salah satunya, untuk narapidana korupsi. Alasan inipun pada akhirnya dipertanyakan.

Bahwa kekhawatiran terhadap penyebaran Covid-19 tentu bisa diterima dengan akal sehat di tengah kapasitas lembaga pemasyarakatan kita yang tidak sebanding dengan jumlah narapidana. 

Bahkan meskipun baru-baru saja terbit Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 dan Kepmenkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 yang pada intinya mengatur pembebasan narapidana dan anak melalui asimilasi dan integrasi untuk mencegah penularan Covid-19, kekhawatiran tentang penularan di rumah tahanan dengan kapasitas yang melebihi batas tidak berhenti.  

Sebenarnya masalah kelebihan kapasitas ini merupakan masalah klasik yang belum terpecahkan. Permasalahannya, dari meningkatnya kriminalitas atau narapidana sampai dengan anggaran. Tetapi anehnya, dengan kapasitas yang terbatas, masih sempat-sempatnya ada "kamar mewah" dalam lembaga pemasyarakatan. Sebab itulah perkara ini menjadi sangat sensitif di tengah publik.

Pertama, kita bermufakat bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Ini tidak bisa ditawar. Kerugian akibat korupsi tidak main-main. Tidak hanya menciderai moral, tetapi merugikan publik karena kesejahteraannya terkikis akibat tindakan itu. 

Publik menghendaki keadilan. Padahal jika merujuk pada teori keadilan, nilai keadilan itu baru terimplementasi dengan baik jika seseorang yang melakukan kejahatan mendapatkan atau merasakan hukuman yang sebanding dengan kejahatannya. Hal ini tidak dimaksudkan sebagai balas dendam, tetapi lebih sebagai upaya memberikan konsekuensi hukum yang ideal.

Kedua, pemberantasan korupsi merupakan komitmen yang saat ini dituntut ada pada setiap aparat penegak hukum. Bukan sebaliknya. Bagaimanapun kekuatan yang mampu memiskinkan hukum tidak lain adalah kekuasaan yang berdiri untuk menegakkan hukum itu sendiri. Sebab itulah aparat penegak hukum perlu memiliki kecerdasan filosofis dan kepekaan yang kritis terhadap hal-hal yang berpotensi bakal memperlambat laju penegakan hukum, dalam hal ini adalah kejahatan korupsi.

Ketiga, pemerintah perlu berhitung secara akurat mengenai signifikansi pemberian asimilasi terhadap narapidana korupsi, terutama dari segi jumlah. Apakah jumlah mereka signifikan sehingga dikhawatirkan penularan Covid-19 menjadi ancaman serius? Apakah narapidana korupsi ini juga "hidup bersama" dengan narapidana-narapidana lainnya atau memiliki ruang tersendiri? 

Apakah itu memang satu-satunya cara tanpa memikirkan pola atau mekanisme yang lain? Kita tentu tidak ingin isu pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi ini lebih mengandalkan manipulasi narasi kekhawatiran atau ketakutan akan Covid-19 tanpa perhitungan yang cermat. Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM via twitter memang telah mengonfirmasi bahwa "belum ada napi koruptor yang dibebaskan secara bersyarat". Tapi kita belum tahu sampai dimana keadaan dan isu ini akan bergulir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun