Tak sedikit terjadi, anak-anak peradaban hilang dalam pusaran perubahan sosial dan budaya. Fenomena ini merupakan situasi sosiologis ketika seseorang tak bisa melakukan adaptasi terhadap berbagai perubahan. Sebuah keniscayaan dari berbagai capaian ilmu pegetahuan dan teknologi informasi.
Namun, ada juga orang yang tak menginginkan peruabahan, sebab merasa kehidupannya sudah mapan. Orang-orang yang berada dalam zona nyaman, cukup puas dengan rutinitas, dan enggan menghadapi tantangan. Mereka akan terus menerus gagap menghadapi perkembangan di luar zonanya, akan hilang tergilas perubahan, dan tersingkir dari putaran roda zaman. Alih-alih memiliki kontibusi dalam serjarah kehidupan sosialnya, jejaknya justru sama sekali tak pernah ada dalam narasi masyarakatnya.
Pertanyaan kritisnya, bagaimana seseorang bisa menerima perubahan di luar dirinya, dan lantas melakukan perubahan di dalam dirinya sendiri atau sebaliknya melakukan perubahan dalam diri, lalu melakukan perubahan pada lingkukan sekitarnya?
Pada pilihan pertama disebut adaptasi dengan perubahan. Misalnya, adaptasi terhadap perkembangan teknologi informasi. Sedangkan pilihan yuang kedua biasa disebut sebagai pelopor perubahan. Misalnya, seseorang yang mengembangkan bank sampah, ia melakukan perubahan model pengelolaan sampah: dari yang terbuang dan dianggap menjijikan, berubah menjadi sumber uang.
Menurut Henry George, seorang ekonom klasik asal Amerika yang mempromosikan kebebasan ekonomi (economic freedom) dan keadilan sosial (social justice), sebagaimana dikutip Leo Tolstoy dalam bukunya Kalender Kebijakan, "kita harus siap setiap saat mengubah pandangan hidup, melepaskan prasangka, dan hidup dengan pikiran yang terbuka serta penuh penerimaan. Pelaut yang melemparkan sauh yang sama setiap saat, tanpa membuat perubahan kala angin berganti arah, tak akan pernah mencapai pelabuhan."
Proses Perubahan
Pernyataan Henry menunjukkan makna perubahan harus menjadi tindakan strategis seseorang manakala ia hendak mencapai tujuan dalam hidupnya. Seumpama pelaut, meski berkali melempar sauh, tak akan bisa sampai di pelabuhan apabila tidak menyesuaikan dengan angin yang berganti arah berhembusnya.
Dengan begitu, ada beberapa syarat seseorang bisa melakukan atau menerima perubahan yang terjadi. Pertama, mengubah pandangan hiup terhadap diri dan realitas di sekitarnya. Pandangan hidup itu merupakan situasi kompleks dalam diri seseorang yang terbentuk dalam rentang waktu panjang, berasal dari berbagai nilai agama, nilai sosial, pengetahuan, dan pengalaman berinteraksi dengan orang-orang dalam kehidupan sosial. Sebab itulah, pandangan hidup memiliki peran sentral terjadinya perubahan dalam diri seseorang, dan akan memengaruhi lingkungan sekitarnya.
Kedua, melepaskan prasangka. Seseorang acap kali memiliki prasangka buruk terhadap sesuatu yang baru, atau setidak-tidaknya bersikap skeptis dan pesimistis. Semakin kuat prasangka seseorang terhadap sesuatu yang baru, maka akan kian besar pula penolakan atau resistensinya terhadap hal-hal yang baru itu. Bahkan, bisa jadi ia akan membangun narasi negatif berdasarkan prasangka dirinya untuk membangun sikap yang sama pada diri orang lain.
Ketiga, memiliki pikiran yang terbuka. Pikiran terbuka merupakan buah dari luasnya pengetahuan dan matangnya pengalaman seseorang dalam menjalani kehidupan. Generasi sekarang menyebutnya 'kurang piknik' bagi orang-orang yang memilki pikiran sempit. Ia tak bisa melihat berbagai perkembangan, menyaksikan adanya keragaman nilai dan budaya dalam setiap kelompok sosial. Semakin sering dan jauh seseorang 'piknik', ia bertambah wawasannya, betapa banyak sudut pandang yang dikembangkan dalam melihat satu persoalan. Pandangan tak pernah tunggal, selalu saja multitafsir, dan inilah yang membawa potensi-potensi perubahan dalam kehidupan.