Pada tahun 1996, di sebuah paroki sederhana di Buenos Aires, Argentina, terjadi sesuatu yang luar biasa-sebuah peristiwa yang kemudian menyebar secara diam-diam ke seluruh dunia dan masuk ke dalam hati umat Katolik.
Mereka menyebutnya: Mukjizat Ekaristi. Terjadi di bawah penggembalaan Kardinal Jorge Bergoglio (Paus Fransiskus), menjadi kesaksian yang diam-diam namun kuat tentang Kehadiran Kristus dalam Ekaristi. Peristiwa ini tidak hanya membangkitkan kembali iman di Argentina, tetapi juga membantu membentuk spiritualitas Ekaristis dari seorang Paus.
Selama Misa yang rutin di Gereja Santa Mara, Buenos Aires, sebuah hosti yang sudah dikonsekrasi secara tidak sengaja jatuh ke lantai. Sesuai tradisi Gereja, imam meletakkan hosti tersebut ke dalam segelas air agar larut. Namun alih-alih larut, sesuatu yang mengejutkan terjadi: hosti itu berubah rupa, menjadi sepotong daging, terlihat merah dan hidup.
Kardinal Bergoglio, yang saat itu menjabat sebagai Uskup Agung Buenos Aires, diam-diam memulai penyelidikan ilmiah. Sampel hosti dikirim ke laboratorium untuk dianalisis. Hasil analisis para ilmuwan sungguh di luar nalar: hosti tersebut telah berubah menjadi jaringan jantung manusia, tepatnya dari ventrikel kiri-bagian jantung yang bertugas memompa darah ke seluruh tubuh. Yang lebih mengejutkan lagi, jaringan itu masih hidup dan menunjukkan tanda-tanda penderitaan, seolah diambil dari seseorang yang sedang mengalami trauma berat.
Golongan darahnya? AB-sama persis dengan darah yang ditemukan di Kain Kafan Turin.
Kardinal Bergoglio tidak pernah mencoba membuat temuan ini menjadi berita sensasional. Temuan ini ditangani dengan penuh kerendahan hati, penghormatan, dan kebijaksanaan pastoral. Baginya, mukjizat ini bukan pertunjukan, melainkan konfirmasi yang dalam tentang kehadiran Kristus dalam Ekaristi.
Alih-alih mengeluarkan pernyataan yang dramatis, ia memilih membiarkan peristiwa ini menembus sendiri ke dalam hati manusia-terutama hati yang terluka dan tersesat. Ia mendorong lebih banyak Adorasi Ekaristi, devosi saat Komuni Kudus, dan rasa kagum yang diperbarui di hadapan altar.
Dampak mukjizat ini pada umat beriman terasa langsung dan bertahan lama:
1. Kehadiran umat dalam Misa meningkat, orang-orang kembali dengan rasa hormat yang lebih dalam.
2. Kapel Adorasi Ekaristi dipenuhi pengunjung baru, terutama anak muda.
3. Pertobatan dan panggilan hidup religius tumbuh diam-diam di balik peristiwa ini.
Meskipun tidak seterkenal Lourdes atau Fatima, Gereja Santa Maria menjadi tempat ziarah yang tenang-sudut suci bagi mereka yang mencari detak jantung Kristus.
Mukjizat Ekaristi ini sangat mempengaruhi teologi pastoral Kardinal Bergoglio. Baginya, Ekaristi bukanlah hadiah bagi orang sempurna, melainkan obat bagi yang terluka-sebuah tema yang kelak ia bawa ke dalam kepausannya.