Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dua Tahun Presiden Jokowi: Keberhasilan dalam Konsolidasi Politik

21 Oktober 2016   08:11 Diperbarui: 21 Oktober 2016   08:30 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemarin, 20 Oktober 2016, tepat dua tahun Jokowi dilantik menjadi Presiden RI ketujuh. Ia memenangkan Pilpres 2014 dengan 53% lebih suara, mengalahkan Prabowo Subianto.  

Kalau kita melakukan kilas balik, maka tahun pertama memerintah adalah tahun yang sangat sulit bagi Presiden Jokowi. Waktu itu parlemen (DPR) dikuasai oleh Koalisi Merah Putih (KMP) yang beranggotakan parpol  oposisi. Sebagian besar tokoh politik nasional  meragukan kemampuannya dalam memimpin Indonesia. Sampai-sampai kemampuannya berbahasa Inggeris pun dipertanyakan.  Pada ujungnya banyak tokoh  yang membuat ramalan bahwa Jokowi akan jatuh pada bulan Oktober 2015.

Partai pendukungnya, PDIP juga tidak sepenuhnya loyal.  Sebagian malah ikut arus besar yang hendak menghentikan Jokowi. Mereka juga menilai  Jokowi tidak layak dan karena tidak memiliki kepemimpinan yang mumpuni. Pada hal penyebab utama sebenarnya adalah ketidak puasan PDIP sebagai partai pengusug utama Jokowi dengan jumlah menteri mereka dalam Kabinet.

Dalam kondisi minus dukungan politik tersebut,  pada bulan pertama pemerintahannya, Jokowi justru dengan berani menghapus sebagian besar subsidi BBM.  Maka Pemerintah menaikkan harga BBM. Presiden Jokowi berdalih, akan menggunakan dana subsidi itu untuk keperluan yang bersifat produktif, ketimbang dihabiskan untuk keperluan yang sifatnya konsumtif.

Dengan penghapusan dana subsidi BBM tersebut, Presiden Jokowi  mendapatkan dana sekitar Rp 250 triliun yang akan digunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi dan program  peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya rakyat miskin. Presiden Jokowi memandang pembangunan infrastruktur ekonomi sangat mendesak untuk dilakukan, sebagai batu loncatan bagi percepatan pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Namun Presiden Jokowi menghadapi gelombang protes dari mana-mana. Golongan masyarakat kelas menengah yang punya mobil protes karena merasa sangat terpukul. Penghasilan mereka terkuras untuk pos biaya transportasi yang dulunya disubsidi Pemerintah.  Sementara politisi di KMP mengomporinya dengan kritikan setiap hari dan setiap ada kesempatan.

Kekacauan di bidang politik semakin meningkat pada saat Jokowi hendak melakukan penggantian Kapolri.   Calon Kapolri yang diusulkan ke DPR, yaitu Komjen Budi Gunawan (BG) sudah disetujui. Tapi KPK menetapkan BG sebagai tersangka perwira polisi yang memiliki rekening gendut. Tindakan KPK tersebut dibalas pihak kepolisian dengan menetapkan pimpinan KPK menjadi tersangka pula dalam kasus lain. 

Konflik tersebut menjadi batu ujian kepemimpinan Presiden Jokowi. Timbul pro dan kontra yang tajam. Rakyat yang diwakili oleh para aktifis dan tokoh masyarakat yang kritis berdiri di belakang KPK.  Sebaliknya para tokoh politik, termasuk dari partai-partai pengusung Jokowi dalam Pilpres 2014 mendukung diangkatnya BG menjadi Kapolri. Termasuk pula dalam barisan itu, sejumlah anggota Kabinet dan bahkan Wakil Presiden.

Setelah membiarkan kekacauan politik itu berlangsung selama satu bulan,  Presiden Jokowi memutuskan membatalkan pengangkatan BG, dan menunjuk Komjen polisi Badrodin Haiti menjadi pengganti.  Itulah keputusan Jokowi yang berani, yang sekaligus membungkam para pendukung  BG. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena pengangkatan Kapolri merupakan hak prerogatif presiden.  Selain itu, Presiden Jokowi memperlihatkan bahwa ia berpihak kepada mayoritas rakyat yang anti korupsi.

Presiden Jokowi menggunakan situasi  kekisruhan politik itu untuk melakukan reshuffle kabinet yang pertama. Menteri-menteri yang kurang loyal dan yang dinilai kurang mampu dicopot. Termasuk pula yang dicopot Menko Polhukam yang terus mendorong Presiden Jokowi untuk mengangkat BG menjadi Kapolri.

Masih terjadi kekisruhan politik dengan kasus “Papa minta Saham” yang melibatkan Setya Novanto,  Ketua DPR-RI, bersama raja mafia minyak Indonesia (Riza Khalid) dan Dirut PT. Freeport Indonesia.  Tapi posisi Presiden Jokowi waktu itu sudah kuat. Dengan membuat pernyataan marah saja, pihak lawan politik di DPR ketakutan. Bahkan Setya Novanto yan terlibat langsung kasus itu menyatakan mundur Ketua DPR.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun