Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sebaiknya Gerindra Dukung Ahok Atau Dipermalukan Rakyat

13 Februari 2016   09:25 Diperbarui: 13 Februari 2016   11:12 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi Partai Gerindra, Ahok adalah dendam kesumat. Ia harus dilengserkan dari jabatannya pada Pilgub tahun depan. Dosa Ahok adalah keluar dari partai, pada hal ia menjadi wakil gubernur dan kemudian gubernur DKI adalah berkat dukungan Partai Gerindra. Oleh sebab itu di mata Gerindra, Ahok adalah pengkhianat yang harus dihabisi.

Tetapi ternyata tidak mudah mengalahkan Ahok. Hasil jajag pendapat sejumlah lembaga survey menunjukkan Ahok disukai oleh sebagian besar rakyat Jakarta. Tingkat keterpilihannya paling tinggi  dibanding siapapun yang berkoar-koar mampu mengalahkan Ahok.

Kondisi itu menjadikan Prabowo sesak nafas. Ia menantang kadernya di Gerindra dan partai-partai lainnya untuk didukung melawan Ahok. Ia bahkan menyatakan akan turun langsung menjadi cagub, jika tidak ada yang mampu mengalahkan Ahok.

Tetapi para kader Gerindra jauh-jauh hari sudah keder sendiri. Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengaku tidak punya potongan untuk gubernur. Fadli Zon sebagai Waketum Gerindra bungkam. Mungkin ia terlalu sayang dengan jabatan yang disandangnya, yang sudah sangat terhormat, wakil ketua DPR. Menjadi cagub DKI berarti berhadapan dengan resiko kalah dan kehilangan jabatan terhormat itu.

Satu-satunya yang berani adalah Sandiaga Uno. Tetapi ia tidak punya pengalaman di bidang pemerintahan. Ia hanya punya keahlian sebagai pengusaha. Ia baru bisa memberikan kritik kepada Ahok, tetapi tidak punya gagasan yang jelas tentang bagaimana masalah yang dilontarkannya  itu dipecahkan, kalau ia menjadi gubernur.

Lalu muncul nama baru yang lebih hebat, Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum PBB yang juga menjadi anggota KMP, dan pengacara Golkar versi ARB. Ia mantan menteri pada rezim Gus Dur, Megawati dan SBY. Ia pengacara hebat yang selalu menang di pengadilan. Ia menantang Ahok “head to head”. Tentu persyaratan pertarungan “head to head” itu tidak mudah didapatkan Yusril. Mana ada yang mau mengalah hanya demi nama besar Yusril.

Kelemahan utama Yusril adalah niatnya yang tidak tulus hendak membangun Jakarta. Ia sebenarnya tidak peduli dengan rakyat Jakarta. Ia maju didorong oleh ambisi kekuasaan menjadi penantang Jokowi pada 2019 untuk merebut kursi presiden. Jadi jabatan gubernur hanya sebagai batu loncatan. Ia hendak meniru langkah Jokowi menjadi Presiden.

Para peminat lain menjadi cagub hanyalah para penggembira, mereka tidak lebih berstatus “ayam sayur”. Sebutlah H. Lulung, Adyaksa Dault, Boy Sadikin, si Wanita Emas, Desi Ratnasari, Eko Patrio dan terakhir Ahmad Dhani. Sedangkan walikota Bandung Ridwan Kamil belum selesai shalat istikharahnya, sehingga belum memberikan jawaban.

Partai Gerindra telah mengundang para bacalon gubernur DKI itu. Ada 14 orang yang diundang menghadiri pertemuan untuk membahas siapa yang paling hebat dan meyakinkan dapat mengalahkan Ahok dalam Pilgub 2017. Sayangnya pertemuan pertama pada 12 Februari 2016 hanya dihadiri oleh 8 orang bacalon gubernur. Tokoh yang paling diharapkan hadir, yaitu Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno dan Ridwan Kamil tidak datang.

Pastilah tidak mudah bagi Partai Gerindra dalam menyeleksi bacalongub yang terbaik. Semuanya pasti menyatakan yakin bisa memenangkan Pilgub. Tapi sebagian besar analisis memprediksi Ahok akan memenangkan Pilgub. Apalagi, para relawan yang menyebut diri “Kawan Ahok” telah mengumpulkan 650 ribu KTP agar Ahok melenggang menjadi Cagub dari jalur independen.  Ahok juga mendapatkan dukungan dari Partai Nasdem dan diyakini juga PDIP karena Megawati sangat akrab dengan Ahok.

Lalu apa jadinya, jika pada Pilgub 2017 ternyata prediksi itu benar, Ahok yang menang dan jagoan Partai Gerindra keok? Apa jadinya Partai Gerindra yang pada level gubernur saja bisa dikalahkan oleh orang yang dituduh berkhianat. Bagaimana dengan reputasi Partai Gerindra setelah kalah Pilgub DKI?

Yang paling terpukul tentu saja Ketum Gerindra, Prabowo Subianto. Ia akan malu tujuh keliling. Ia menjadi politisi yang gagal beruntun selama 12 tahun karir politiknya. Ia mengalami 6 kali kekalahan yang menyakitkan dan belum pernah sekalipun menang. Ia kalah dalam konvensi capres Partai Golkar pada 2004. Ia kalah dalam Pilpres 2009 sebagai cawapres bersama Megawati sebagai capres. Ia kalah dalam Pilpres 2014 dan kalah pula  dalam gugatan hasil Pilpres di MK. Lalu koalisi parpol yang dipimpinnya, KMP kalah dan  hancur berkeping-keping. Terakhir, jika prediksi itu kenyataan, ia kalah pula dalam Pilgub DKI 2017. Jadi sungguh memalukan, sungguh keterlaluan.

Saya sebenarnya berharap, setelah hampir seluruh parpol anggota KMP merapat dan menjadi pendukung Presiden Jokowi, timbul kesadaran baru pada internal Partai Gerindra. Mereka seharusnya lebih mendengarkan suara dan aspirasi rakyat, bukannya terus bertahan menjadi “public enemy” karena hanya menyuarakan kritik dan ejekan kepada Pemerintah yang dicorongi oleh Fadli Zon.

Oleh sebab itu, sikap yang diambil Partai Gerindra yang menolak revisi UU KPK sudah pada jalur yang benar. Gerindra telah mendengarkan dan berpihak kepada rakyat yang tidak menginginkan kewenangan KPK dipreteli. Rakyat justru senang dengan banyaknya kader partai yang ditangkap KPK dan dimasukkan ke dalam bui. Artinya semakin banyak uang Negara yang bisa diselamatkan, yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam urusan revisi UU KPK, biarkan PDIP babak belur berjuang sendirian  dan kalah. Apalagi Partai Gerindra termasuk partai yang paling bersih dalam catatan korupsi. Jadi tidak ada gunanya mendukung PDIP atau Golkar yang ngebet hendak melakukan revisi UU KPK karena terus menerus kadernya tersenggol KPK.

Oleh sebab itu, Partai Gerindra seharusnya berjiwa besar untuk berdamai dengan Ahok. Bertarung habis-habisan melawan Ahok merupakan pertaruhan yang sia-sia dan dengan tingkat resiko yang sangat tinggi. Partai Gerindra seharusnya dapat memahami dan menerima alasan Ahok keluar dari Gerindra. Pada waktu itu, alasan Ahok keluar dari Gerindra sebenarnya dapat diterima oleh akal sehat.

Ahok keluar karena Gerindra merupakan partai pemrakarsa untuk merevisi UU Pilkada, hendak menjadikan Pilkada tidak langsung oleh DPRD. Pada hal Ahok yakin benar bahwa ia dan Jokowi hanya bisa menang Pilgub karena pemilihan langsung oleh rakyat.

Oleh sebab itu, tentunya akan sangat mengasyikan menyaksikan Pilgub DKI 2017, di mana Ahok sebagai calon Independen juga didukung oleh PDIP bersama Gerindra dan Nasdem. Akhirnya Ahok menang, semuanya menang dan yang paling diuntungkan tentunya adalah rakyat Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun