Mohon tunggu...
Miss Rochma
Miss Rochma Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Semua orang yang saya kenal adalah orang yang luar biasa dalam pemikirannya sendiri. Tulisan saya dengan gaya bahasa yang berbeda? disini : http://www.mamaarkananta.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Percakapan Menjelang Akhir Ramadhan. Tentang Syukur

23 Agustus 2011   08:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:32 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu panas. Padahal jam di tangan sudah menunjukkan pukul 4 sore. Perutku yang mulai membesar, memaksaku setiap bulan harus memeriksakan diri ke dokter supaya janinku tidak memiliki masalah yang serius. Dengan malas yang menyerang, ditambah pula suasana cuaca yang tidak bersahabat, memaksaku untuk tetap harus berangkat ke dokter. Dengan langkah yang berat seberat beban yang tiap hari aku bawa di dalam perutku, aku melangkah menuju sebuah pemberhentian angkot yang dibangun oleh warga perumahan beberapa tahun yang lalu.

Saat kuletakkan badan ini dengan posisi yang nyaman di bangku besi panjang, seorang laki-laki penjual es campur dan seorang perempuan penjual rujak cingur sedang berkonsentrasi membuka lapak dagangannya. Seolah tidak mau diganggu kala itu.

Kalian tahu, mereka berdua adalah penjual makanan paling lama yang pernah aku tahu di lingkungan perumahanku. Sejak aku SD hingga umurku yang sudah melewati seperempat abad, mereka masih saja tidak beralih pada pekerjaan lain. Padahal kalau kalian tahu bagaimana lapak jualan mereka, sudah tidak jamannya lagi untuk tahun 2011. Tapi, bukan seberapa lama mereka berjualan atau seberapa kuat perjuangan mereka dalam bersaing dengan pedagang lain yang mau aku ceritakan. Hanya ada sebentuk percakapan dari mereka yang mau aku bagikan kepada kalian.

***

[caption id="attachment_126410" align="alignnone" width="300" caption="Lapak Sore Hari/Miss Rochma.doc"][/caption]

“Kau tau Min,sama seperti yang aku ceritakan tahun-tahun kemarin. Ketika puasa, uang yang aku hasilkan dari ngulek rujak hanya sedikit.” Ucap perempuan penjual rujak cingur. Kami pembelinya biasa memanggilnya dengan sebutan bu Bariyah. Isi rujaknya banyak, terlalu banyak jumlahnya kalau yang memakan perempuan. Tapi terlalu eneg karena terlalu banyak petis.

“Terus kenapa?” Tanya laki-laki penjual es campur yang semenjak tadi sudah selesai mempersiapkan lapaknya. Namanya pak Sarmin. Sering kali aku melihatnya meninggalkan dagangannya untuk sholat berjamaan di masjid di lingkungan perumahan kami yang letaknya tidak terlalu jauh, ketika adzan sudah memanggil. Meskipun rasa es campurnya tidak terlalu manis, tapi es campur buatan pak Sarmin menjadi langganan anak-anak SD dan SMA yang letak sekolahnya tidak jauh dari lapaknya.

“Ya jelas sedikit uang yang aku dapat. Kalau sedang tidak puasa, aku ngulek sejak jam 10 pagi sampai sore. Luwih suwe ketimbang nek gak poso. Pas puasa begini, yah gak banyak yang bisa aku ulek.”

“Tapi selain ngulek rujak, masih bisa dibarengi dengan jual masakan matang kan?”

“Tapi untungnya nggak banyak, Min. Masih banyak untungnya ketika nggak puasa. Ya ngulek, ya jual masakan matang. Untungnya dobel-dobel.” Bu Bariyah mulai mengeluhkan perbandingan penghasilannya ketika bulan Romadhon tiba dan ketika bulan-bulan biasanya. Aku melirik reaksi pak Sarmin. Hanya terdiam, sambil duduk di kursi kayu yang sudah tua. Memandang jauh ke depan sambil entah memikirkan apa.

Tak lama kemudian, pak Sarmin membalas keluhan bu Bariyah dengan nada tenang.

Awakmu karepe opo? Wes suwi urip tapi ora syukur karo penggaweanmu.”

Kulirik, bu Bariyah hanya terdiam dengan ucapan pak Sarmin. Tidak membalas apa-apa. Lalu merebahkan tubuhnya di sampingku, di tempat duduk besi yang sama denganku.

“Lebih dari 20 tahun kita ini jualan di sini. Masih syukur Allah itu memberikan perumahan ini sebagai tempat kita jualan. Meskipun penghasilan kita kadang nggak tentu, tapi jangan menyalahkan bulan Puasa. Bulan puasa itu hanya 30 hari. Lha yang 11 bulan lainnya?”

“Aku ngerti, Min. Tapi bulan puasa tahun ini rasanya berbeda dengan 10 tahun yang lalu.”

“Karena 10 tahun yang lalu penjual makanan selain kita masih jarang, Yah. Itu yang kudu kamu ngerti. Meskipun aku jual es ini sampai malam dan bersaing dengan penjual bakso yang juga jualan es kelapa muda, tetap saja harus aku syukuri meskipun es jualanku ini sisa dan terpaksa aku bawa pulang.”

[caption id="attachment_126412" align="alignnone" width="300" caption="Pak Sarmin jualan malam hari/Miss Rochma.doc"][/caption]

Terlihat bu Bariyah terdiam ketika pak Sarmin berucap dengan nada menasehati. Mungkin menyadari kekeliruannya dalam memaknai jumlah penghasilan yang dia terima atau mungkin juga mnegumpak pak Sarmin dalam hati. Dan ketika angkot yang aku tunggu sudah ada di depanku, aku melihat mereka berdua saling diam dan tidak berdebat tentang apapun lagi.

[caption id="attachment_126415" align="alignnone" width="300" caption="Seusai percakapan/Miss Rochma.doc"][/caption]

_________

Ngulek rujak : Menggerus bahan dasar rujak cingur.

Luwih suwe ketimbang nek gak poso : Lebih lama daripada ketika tidak berpuasa.

Awakmu karepe opo? Wes suwi urip tapi ora syukur karo penggaweanmu : Kamu maunya apa? Sudah lama hidup tapi tidak bersyukur dengan pekerjaanmu.


Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun