Apa jadinya bila seorang petani yang menemukan benih unggul, yang terbukti meningkatkan panen dan menolong sesama petani, justru dihadiahi status tersangka? Itulah yang dialami Tengku Munirwan, Kepala Desa Meunasah Rayeuk, Aceh Utara. Pada 2019 ia mengembangkan benih padi IF8. Hasil panen meningkat drastis, petani tersenyum, dan desa sempat menjadi percontohan inovasi pangan.
Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Munirwan kemudian ditetapkan sebagai tersangka, bahkan sempat ditahan. Alasannya sederhana: benih yang ia sebarkan belum memiliki sertifikasi resmi dari pemerintah. Walau akhirnya penahanannya ditangguhkan, setelah banyak mendapatkan sorotan dan bantuan LSM, kasus ini hingga kini, enam tahun berselang, masih menggantung tanpa kepastian hukum.
Kasus yang Mengambang, Ancaman yang Nyata
Ya. ini kisah lama yang menggantung. Entah motif apa diangkat kembali dan sedang viral.
Menggantungnya kasus Munirwan bukan sekadar persoalan administrasi hukum. Status tersangka yang tidak pernah ditutup atau diselesaikan bisa menjadi bom waktu. Sewaktu-waktu dapat dibuka kembali, dan lebih berbahaya lagi, bisa dijadikan alat politik untuk memancing di air keruh.
Kondisi ini melahirkan pertanyaan mendasar: apakah negara sungguh-sungguh ingin mendorong inovasi lokal, atau sekadar berpegang kaku pada aturan tanpa melihat substansi manfaatnya?
Bukan Kasus Pertama
Kasus Munirwan mengingatkan kita pada kisah lain yang lebih dulu terjadi. Beberapa tahun silam, seorang inovator mobil listrik nasional juga bernasib serupa. Alih-alih diberi dukungan, ia dipidanakan karena dianggap melanggar aturan tertentu. Akibatnya, ia patah arang, kabarnya konon ia beralih menjadi pedagang kambing yang sukses. Ironis?
Dua kisah ini mungkin mewakili banyak kisah yang tak muncul kepermukaan. Yang jelas, kisah ini membentuk pola yang sama: inovator lokal dihukum, bukan didukung. Lalu bagaimana mungkin bangsa ini bisa maju bila orang-orang yang berani berkreasi justru ditakuti dengan jeratan hukum?
Mungkin ada juga yang berdalih, bahwa kasus Munirwan ini hanya sedikit, pencilan. Banyak inovator yang sukses dan dihargai. Ini memang relatif jawabannya. Namun, bukankah 1 kasus inovator yang dihukum sudah cukup untuk membuat banyak calon inovator takut?
Apa yang Salah dengan Sistem Kita?
Secara hukum positif, aturan perbenihan memang jelas. UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman mewajibkan setiap benih varietas unggul baru yang diedarkan untuk terlebih dahulu dilepas dan disertifikasi oleh pemerintah. Tujuannya baik: memastikan mutu, mencegah benih palsu, melindungi petani dari kerugian.
Memang "kasus Munirwan" ini bukan kasus persoalan menghukum atau memenjarakan inovator, tetapi menghukumi kesalahan prosedur dalam peredaraan hasil inovasi, dalam hal ini adalah benih padi.
Namun masalahnya, proses pelepasan benih di Indonesia sering kali lama, mahal, dan birokratis. Bagi seorang penemu di desa, syarat ini nyaris mustahil dipenuhi tanpa modal besar dan jaringan kuat. Akhirnya, inovator yang bekerja tulus untuk masyarakat justru tergelincir ke ranah hukum.
Di banyak negara lain, kesalahan administratif seperti ini biasanya hanya berujung pada sanksi administratif atau denda, bukan pidana.
Di Jerman, misalnya, distribusi benih tanpa label resmi bisa dikenakan denda, tetapi jarang sekali sampai penjara. Di Amerika Serikat, perlindungan varietas lebih bersifat perdata. Hanya Jepang yang benar-benar keras, itu pun khusus untuk kasus ekspor ilegal varietas unggul.
Artinya, yang keliru bukanlah niat Munirwan, melainkan sistem hukum kita yang tidak mampu membedakan antara pelanggaran administratif dengan kejahatan pidana.
Inovasi Seharusnya Dilindungi
Indonesia sedang gencar bicara soal kedaulatan pangan. Pemerintah menggaungkan swasembada, peningkatan produktivitas, dan ketahanan pangan. Tetapi bagaimana mungkin semua itu terwujud bila inovasi dari bawah justru dipatahkan?
Sebetulnya, di titik inilah peran ilmuwan menjadi sangat strategis. Inovasi seperti IF8 yang sudah terbukti secara empiris di petani desa perlu segera dibuktikan secara ilmiah melalui uji multilokasi bersama lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan pemerintah daerah. Dengan cara itu, klaim produktivitas tinggi dan ketahanan hama dapat dipastikan secara objektif, sekaligus membuka jalan untuk pelepasan varietas resmi. Jika sinergi ini dibangun, maka penemu lokal seperti Munirwan tidak dibiarkan sendirian, melainkan mendapat pendampingan ilmiah dan legal sehingga inovasinya benar-benar menjadi aset bangsa.
Negara seharusnya menyiapkan jalur aman (safe harbor) bagi para penemu seperti Munirwan.
Benih yang terbukti bermanfaat bisa diberi izin uji coba terbatas dengan label “benih uji,” sambil diproses untuk sertifikasi. Mekanisme ini akan memberi ruang aman untuk riset sekaligus melindungi petani.
Lebih dari itu, perlindungan hukum bagi pemulia lokal juga harus diperkuat. UU Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) seharusnya menjadi payung untuk melindungi hasil inovasi mereka. Proses pengajuan hak PVT harus sederhana dan murah, sehingga inovator desa pun bisa mendapat pengakuan resmi.
Dorong Inovasi atau Asal Hukum?
Kasus Munirwan adalah simbol pilihan kebijakan: apakah negara lebih peduli pada tertib aturan administratif, atau sungguh-sungguh mau mendorong ekosistem inovasi?
Jika negara hanya sibuk menegakkan pasal demi pasal tanpa memberi solusi, maka Munirwan hanyalah satu dari sekian banyak penemu yang akan berhenti berinovasi. Sebaliknya, jika kasus ini dijadikan momentum pembaruan regulasi, Indonesia bisa membangun sistem hukum yang adil sekaligus produktif.
Hukum seharusnya mengawal inovasi, bukan menjeratnya.
Pelajaran dari Munirwan
Bangsa ini tidak akan pernah maju bila penemunya dihukum. Munirwan, dengan benih IF8-nya, hanyalah satu contoh nyata. Esok lusa bisa saja muncul penemu pupuk, obat herbal, atau mesin pertanian baru, yang justru takut melangkah karena bayangan jerat hukum.
Kasus Munirwan harus segera diselesaikan dengan bijak. Jangan biarkan status hukum yang menggantung menjadi pisau bermata dua yang setiap saat bisa digunakan untuk tujuan di luar keadilan.
Inovasi adalah nafas kemajuan. Dan negara yang ingin besar harus memilih: menjadi pengawal inovasi, atau sekadar polisi aturan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI