Bismillah,
Dulu saya penakut. Dan masih. Saya takut ketinggian, takut air, takut ditertawakan, takut salah, bahkan takut mengungkapkan pendapat sendiri.
Kadang saya diam saja padahal ingin bicara. Mundur padahal ingin maju. Menyesal setelahnya, tapi tetap mengulanginya di lain hari.
Tapi perlahan saya belajar bahwa ketakutan yang dibiarkan tumbuh akan menjadi penjara. Ia membatasi kita dari banyak kebaikan yang semestinya bisa kita capai. Ia bukan hanya menghalangi mimpi, tapi juga melemahkan nilai dan makna hidup kita sendiri.
Keberanian Itu Bukan Lahir, Tapi Dilatih
Saya dulu berpikir keberanian itu bakat. Ada orang yang dari kecil memang pemberani, dan ada yang tidak bisa lepas dari rasa takut. Tapi ternyata saya keliru. Keberanian itu bukan warisan, tapi latihan. Bisa dibentuk. Ia sebuah keterampilan. Ia tumbuh dari kesadaran bahwa kita harus hidup untuk sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa aman.
Saya mulai mengerti bahwa keberanian bukan soal tidak takut, tapi soal memilih tetap melangkah meski takut.
Rasa takut itu wajar. Bahkan para nabi pun takut. Nabi Musa as berkata kepada Allah SWT, “ ... Aku takut mereka mendustakanku …” (QS. Asy-Syu‘ara: 12). Tapi Allah tidak menegur ketakutannya. Allah menguatkannya.
"Jangan takut, Aku bersama kalian........." (QS. Taha: 46)
Itulah pelajaran ilahiyyah: keberanian tidak meniadakan rasa takut, tapi menaklukkannya dengan iman.
Hidup Bernilai Tidak Datar
Sering kita mendambakan hidup yang tenang, damai, stabil. Itu sah. Tapi kalau itu kita capai dengan terus berdiam diri, menghindari konflik, enggan mencoba, takut ditolak, lama-lama hidup jadi datar. Datar bukan karena damai, tapi karena mati rasa.
Padahal, hidup yang bernilai tidak pernah netral. Kita harus memilih: