Menapaki gerbang pendidikan tinggi, setiap mahasiswa pascasarjana membawa serta impian besar, tak terkecuali saya. Membayangkan diri berdiri gagah dengan jubah doktor dan toga, menyandang gelar yang menjadi puncak pencapaian akademis, adalah pemandangan yang senantiasa membakar semangat. Disertasi, tugas akhir maha penting itu, awalnya saya sambut dengan antusiasme meluap-luap. Berjam-jam riset, tumpukan buku, dan malam-malam panjang di depan laptop terasa seperti sebuah petualangan ilmiah yang mendebarkan, mengantar saya semakin dekat pada cita-cita. Namun, seiring waktu bergulir, cahaya optimisme yang semula benderang itu perlahan mulai redup, digantikan oleh awan kelabu keraguan yang semakin pekat.
Realita pahit itu menghantam telak di tengah perjalanan studi:Â diagnosis Depresi Berat dengan Gejala Psikotik (F32.3). Ini bukan sekadar rasa sedih biasa; ini adalah kabut tebal yang menyelimuti seluruh aspek kehidupan, mengubah dinamika yang semula terencana rapi menjadi kekacauan tak berujung. Hari-hari yang seharusnya dipenuhi dengan riset dan penulisan, kini berganti menjadi perjuangan melawan pikiran-pikiran yang mengganggu dan halusinasi yang menyesatkan. Dinding-dinding kamar terasa menyempit, sementara dunia luar terasa begitu menakutkan dan asing. Rutinitas sederhana seperti bangun dari tempat tidur atau sekadar mandi pun menjadi tugas berat yang menguras seluruh energi.
Dampak paling signifikan terasa pada produktivitas dan konsentrasi. Otak yang dulunya tajam dan mampu menyerap informasi dengan cepat, kini terasa seperti spons basah yang tak mampu menahan air. Membaca satu paragraf saja butuh usaha keras, apalagi memahami teori-teori rumit atau menganalisis data. Pikiran sering kali melayang entah ke mana, fokus mudah buyar, dan ide-ide yang seharusnya mengalir lancar kini terfragmentasi dan sulit diatur. Tenggat waktu yang semula tampak realistis kini terasa seperti gunung es yang tak mungkin didaki, dan setiap upaya untuk duduk di depan laptop terasa seperti menyeret beban ribuan kilogram.
Semangat yang membara di awal perlahan padam, digantikan oleh apatisme yang dalam. Mood yang tidak stabil, sering kali merosot tajam ke titik terendah, membuat motivasi seolah lenyap ditelan bumi. Laporan disertasi, yang tadinya merupakan simbol impian, kini menjadi monster menakutkan yang terus menghantui. Setiap kali mencoba melanjutkan, rasa putus asa dan kelelahan mental menghampiri, membuat setiap kata yang ditulis terasa hambar dan tanpa makna. Ini bukan lagi tentang mencapai gelar, melainkan tentang bagaimana bertahan hidup di tengah badai yang tak kunjung usai, sembari mencoba memegang erat sisa-sisa harapan untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai.
Perjalanan menyelesaikan disertasi ini semakin terjal dengan kemunculan berbagai distraktor yang tak henti-hentinya menghantam. Efek samping dari obat-obatan yang harus saya konsumsi untuk menstabilkan kondisi mental menjadi salah satu penghalang utama. Rasa kantuk yang tak tertahankan, mual, hingga pikiran yang terasa lambat, seringkali membuat saya tak berdaya di depan tumpukan referensi. Ditambah lagi, mood yang fluktuatif seperti roller coaster emosi; satu momen bisa merasa sedikit lebih baik, namun sesaat kemudian terjerembab dalam jurang keputusasaan. Kecemasan berlebih menjadi bayang-bayang yang terus mengikuti, menciptakan skenario terburuk di setiap langkah, memicu serangan panik yang melumpuhkan kemampuan untuk berpikir jernih. Semua ini menyatu dalam kelelahan mental yang akut, membuat setiap upaya untuk fokus terasa seperti memeras tenaga dari sumur yang kering.
Di tengah semua itu, konflik internal tak henti-hentinya berkecamuk. Antara keinginan kuat untuk menyelesaikan studi dengan kenyataan pahit bahwa tubuh dan pikiran ini seolah enggan bekerja sama. Suara-suara di kepala yang meragukan kemampuan diri, bisikan putus asa yang menyuruh menyerah, menjadi musuh tak kasat mata yang terus menggerogoti. Pertanyaan "untuk apa semua ini?" seringkali muncul, membuat setiap jam yang dihabiskan untuk riset terasa sia-sia, menimbulkan keraguan besar akan masa depan dan arti dari perjuangan ini.
Paradoksnya, rutinitas konsultasi psikiater yang mutlak diperlukan untuk menjaga stabilitas mental, justru turut menjadi distraktor tersendiri. Setiap jadwal kunjungan berarti mengorbankan waktu berharga yang seharusnya bisa digunakan untuk menulis atau membaca. Proses menunggu di ruang tunggu, sesi terapi yang menguras emosi, dan terkadang perubahan dosis obat yang kembali memicu efek samping, semuanya menambah beban mental dan fisik. Meskipun saya tahu ini adalah bagian krusial dari upaya penyembuhan, namun secara emosional, frekuensi kunjungan tersebut terasa seperti pengingat konstan akan kondisi saya, sebuah interupsi yang tak terhindarkan dalam upaya keras untuk kembali fokus pada tujuan akhir.
Di tengah badai internal yang melanda, tekanan eksternal tak kalah gencar menghimpit. Keluarga, yang seharusnya menjadi jangkar, justru seringkali menjadi sumber turbulensi tersendiri. Suami, dengan segala tantrum dan perilaku di luar nalar, menambah lapisan stres yang tebal. Setiap pertengkaran kecil terasa seperti pukulan telak yang membuat saya kehilangan arah. Keinginan untuk menciptakan lingkungan yang stabil bagi keluarga seringkali berbenturan dengan kenyataan bahwa saya sendiri sedang berjuang keras menjaga stabilitas diri. Ini adalah medan perang ganda: berjuang melawan penyakit di dalam, sambil mencoba menangkis serbuan konflik dari luar.
Tidak hanya dari lingkungan terdekat, ekspektasi diri sendiri juga menjadi beban yang semakin memperberat kondisi mental. Citra diri sebagai individu yang kompeten, cerdas, dan mampu menyelesaikan apa pun yang dimulai, kini berhadapan dengan kenyataan pahit. Saya seringkali membandingkan diri dengan rekan-rekan seperjuangan yang tampak lancar melangkah, sementara saya merasa terperangkap. Harapan untuk menjadi teladan, baik bagi keluarga maupun diri sendiri, justru menjadi cambuk yang tak henti memicu rasa bersalah dan malu, memperburuk lingkaran setan kecemasan dan depresi.
Maka, saya pun terperangkap dalam sebuah dilema yang menyakitkan: harapan orang terdekat agar disertasi ini cepat selesai versus kebutuhan pribadi akan waktu dan ruang untuk pemulihan. Ada tuntutan tak tertulis untuk segera "normal" kembali, untuk segera merampungkan tugas akhir ini demi kebanggaan keluarga dan masa depan yang cerah. Namun, jiwa dan raga ini berteriak meminta jeda, membutuhkan waktu untuk bernapas, pulih, dan membangun kembali kekuatan yang telah terkuras habis. Rasanya seperti didorong untuk berlari maraton saat kaki ini bahkan kesulitan untuk sekadar melangkah. Dilema ini menciptakan konflik batin yang tiada henti, seolah saya harus memilih antara memenuhi ekspektasi orang lain atau mendengarkan jeritan kebutuhan diri sendiri yang kian mendesak.
Di tengah pusaran konflik internal dan eksternal, satu-satunya cara untuk tetap bertahan adalah dengan mencari jalan tengah. Saya mulai menyadari bahwa melanjutkan dengan cara yang sama hanya akan membawa saya lebih dalam ke jurang keputusasaan. Langkah pertama adalah menerima keterbatasan diri; sebuah realisasi pahit namun esensial bahwa saya tidak bisa memaksakan diri seperti dulu. Ini bukan menyerah, melainkan sebuah bentuk penerimaan yang justru menjadi fondasi bagi pemulihan dan strategi baru. Saya harus belajar untuk berdamai dengan kenyataan bahwa progres akan berjalan lebih lambat, dan itu tidak apa-apa.