Oleh: Miski Bin Jamaluddin
Hampir setiap hari penindasan terhadap masyarakat golongan bawah terjadi di Indonesia, mulai dari sengketa lahan, penggusuran, bahkan penertiban pedagang kaki lima (PKL).
Hal itu menjadi sajian biasa bagi saya saat menjalankan tugas ke-jurnalisan. Adu mulut sampai bentrok aparat dan masyarakat tidak dapat dihindarkan, saya pun semakin yakin bahwa pemimpin belum berhasil menjadi wakil masyarakatnya.
Pantas saja, saaat Pilpres, Pileg, dan Pilkada, masyarakat enggan memilih, asal ada money-nya, baru masyarakat berbondong-bondong datang ke TPS. Tak jarang dari mereka memilih golput saking bencinya dengan pemimpin yang itu-itu saja.
Di Kota Batu misalnya, sebagai ikon kota, sepanjang Alun-alun Batu terlarang bagi PKL. Hal tersebut diatur dalam Perwali nomor 18 tahun 2011.
Padahal, PKL yang mengadu nasib dengan majunya Kota Batu merupakan masyarakat lokal. Bahkan, mereka lantang menyuarakan sebelum Kota Batu lahir, mereka terlebih dahulu sudah berjualan.
Apakah perwali tersebut tidak dapat berubah, apakah perwali ini baik bagi masyarakat. Jika tidak, kenapa dibiarkan dan tidak ada solusi konkrit, tanya PKL?
Kejadian ini merata disetiap daerah, dengan dalih kawasan wisata nyaman dan terlihat bersih bagi warga. Pertanyaannya, kenapa PKL memilih tempat terlarang?, jangan-jangan pemerintah tidak dapat menampung dan menyediakan tempat layak.
Kenapa pemerintah daerah justru hormat dan sungkan pada masyarakat luar, dibanding masyarakatnya sendiri. Bukannya harus membangkitkan usaha rakyat, agar kesejahteraan tercapai.
Masyarakat tidak ingin imbalan maupun hadiah berupa uang, sementara perilaku arogan terus ditunjukkan. Masyarakat tidak mau janji, tapi bukti konkrit dari pemerintah.
Kota Batu hanyalah kota kecil jika dibanding Surabaya dan Jakarta. Namun, pemerintah lambat dan seraya acuh tidak acuh atas kondisi masyarakatnya. Masyarakat dibuat berjuang sendiri, dan kebiasaan pemimpin selalu menggunakam cara kekeraaan dalam menertibkan PKL sudah membudaya.