Mohon tunggu...
Misbah Zainal Mustofa
Misbah Zainal Mustofa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang penulis sekaligus mahasiswa salah satu Universitas Islam ternama di jepara

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Relevansi Ajaran Stoikisme dengan Paradigma Tasawuf Islam dalam Penanganan Penyakit Mental Generasi Z

23 Oktober 2023   02:43 Diperbarui: 23 Oktober 2023   02:45 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
goodnewsfromindonesia.id

Berpikir telah dibentuk dari tiga bagian tubuh, napas, dan pikiran. Dari jumlah tersebut, dua yang pertama adalah milik berpikir sejauh mereka hanya dalam perawatan berpikir. Yang ketiga saja yang benar-benar milikmu. Tubuh bisa terluka karena berpikir keseimbangan badan kita atau cacat dari lahir.

Sedangkan nafas bisa saja tiba-tiba berhenti, entah karena penyakit atau ajal yang tiba-tiba datang, tapi sampai akhir, pikiran kita adalah milik kita. Tapi bukan berarti tubuh dan nafas kita tidak penting, keduanya memang bukan pure milik kita dari pada pikiran kita. Pikiran kita adalah milik kita, bebas dan lurus. 

Pastikan kita memperlakukannya dengan baik.Ini membebaskan kita dari kerentangan kehidupan modern, yang penuh dengan lika-liku roda kehidupan yang terus berputar, seperti masalah yang tak kunjung selesai, kerjaan yang menumpuk dan macetnya jalan ibu kota, seakan tak ada kemulusan dalam menjalin hidup selau ada rintangan. Stoik hadir untuk mengatasi pikiran kita, itu memulihkan kita dengan kekuatan yang kita butuhkan untuk berkembang dalam hidup. Terdapat sebuah drama oleh Euripides yang dalam ceritanya sang pahlawan, Bellerophon, meragukan keberadaan para dewa. Dan begitu pula para dewa yang kebanyakan acuh tak acuh.

Sebaliknya, lihat apakah hal-hal ini mungkin lebih baik jiwa yang agung, independen, kejujuran, kebaikan dan kesucian. Saat ini Marcus Aurelius mengingatkan kita seperti yang dia peringatkan pada dirinya sendiri bahwa kebahagiaan itu hampir tidak sejalan dengan kebajikan. Dorongan dominan yang berasal dari seks bersifat sementara. 

Begitu juga kebanggaan atas suatu pencapaian atau tepuk tangan meriah dari orang banyak. Kenikmatan ini sangat kokoh, tetapi mereka memudar dan membuat kita menginginkan lebih. Kebijaksanaan, karakter yang baik, harmoni, dan kejujuran. Mereka tidak memiliki media sosial, tidak ada surat kabar, tidak ada obrolan televisi untuk membuat mereka gusar. Tetapi saat itu, orang yang tidak disiplin akan menemukan banyak hal yang terganggu dan membuat kesal.

Bagian dari pola pikir stoik saat itu adalah semacam ketidaktahuan yang dibudidayakan. Itu bukan tanda kelemahan untuk menutup mereka. Sebaliknya, itu adalah tanda kemauan yang kuat.

Socrates, mungkin orang paling bijaksana yang pernah hidup, pernah mengatakan bahwa tidak ada yang melakukan kesalahan dengan suka rela. Artinya tak ada orang yang salah dengan sengaja. Tidak ada yang berpikir mereka salah, bahkan ketika mereka salah.

 Kita pernah dihadapkan oleh berpikir saat kita mengalami tekanan yang paling berat, kita sering menghabiskan waktu untuk memikirkan hal yang tidak semestinya kita pikirkan, yaitu sesuatu yang belum terjadi kapan akan datang, tidak memprediksi apapun karena kita adalah manusia biasa, lalu saat masalah menimpa kita kebahagiaan itu pun hilang, kita mencarinya di tempat yang kita pikir akan mendatangkan sebuah kebahagiaan tapi kata Marcus Aurelius dalam bukunya semua itu tidak berguna. Tanpa benar-benar berpikir secara mendalam, semua semu tidak membuat kita lebih bahagia, ketakutan dan ancaman bagi orang-orang yang memiliki harta kekayaan yang berlimpah.

Di sisi lain, kebaikan yang didukung setoa lebih sederhana dan lebih lugas yaitu kebijaksanaan, pengendalian diri, keadilan dan keberanian.

Kedua pandangan baik stoikisme dan Islam melihat dan menerangkan dahsyatnya dampak destruktif dari emosi negative, sehingga harus dikurangi. Kemudian, jika dalam stoikisme ada amor fati, maka dalam Islam mengusung sikap syukur.

Dalam bidang tasawwuf juga terdapat praktik semacam itu yang disebut dengan kanaah, dari segi kebahasaan artinya menerima apa adanya atau tidak serakah. Karena dengan cukup terhadap keperluan utama tersebut, maka tentu sangat bersyukur bagi diri orang yang kanaah. Dalam tradisi sufi Kanaah adalah salah satu akhlak mulia yang selalu melekat, di mana para sufi dengan ikhlas menerima rejeki apa adanya dan menganggapnya sebagai kekayaan yang membuat mereka terjaga statusnya dari meminta-minta kepada orang. Terdapat salah satu ekspresi yang diajarkan dalam filsafat stoikisme yaitu amor fati .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun