"Menyeberang Selat, Menyapa Syukur: Cerita Awal di Lampung Selatan"
Perjalanan:
Kompasianer, Perjalanan kami sekeluarga kali ini menunju Lampung.
Begitu kapal ferry mulai menjauh dari dermaga Merak, ombak Selat Sunda seperti menepuk pelan badan kapal, seolah bilang, "Selamat datang di petualangan berikutnya, bro." Angin laut membawa aroma asin bercampur kopi sachet yang baru diseduh penumpang di dek atas---perpaduan khas yang entah kenapa selalu bikin suasana jadi akrab.
Saya dan keluarga memilih duduk santai di sisi kanan kapal. Di sana, laut terbuka luas dengan cahaya matahari pagi menari di permukaannya. Istri saya, seperti biasa, sibuk memotret camar yang terbang rendah. Saya sempat bercanda, "Itu burungnya bukan selfie, Mah, jangan disuruh pose terus." Ia menatap saya sebentar, lalu tertawa kecil sambil bilang, "Papa aja yang miring biar dapet angle bagus."
Perjalanan sekitar dua jam terasa cepat. Mungkin karena semangat menyeberang ke pulau seberang selalu memberi getaran tersendiri---antara penasaran, lelah yang tertinggal di Banten, dan harapan akan cerita baru di Lampung. Begitu feri merapat di Pelabuhan Bakauheni, suasana langsung terasa berbeda. Udara lebih hangat, matahari lebih berani. Bahkan papan "Selamat Datang di Lampung" seperti tersenyum lebar menyambut kami.
Tanpa berlama-lama, kami lanjut ke arah Kalianda. Jalanan menurun, di sisi kanan tampak laut biru yang menggoda, sementara di kiri hamparan pohon kelapa melambai seolah bilang, "Ayo mampir dulu, bro!"
Tujuan pertama: Pantai Sapenan.
Pantainya masih alami, pasirnya halus, dan tak terlalu ramai. Di sini kami sempat membuka bekal ringan---roti isi dan air mineral yang entah kenapa rasanya lebih nikmat kalau dimakan sambil lihat laut. Saya sempat mencoba jalan agak jauh ke ujung karang, tapi begitu lihat ombak datang, langkah langsung lebih cepat dari biasanya. Istri saya menertawakan, "Katanya berani, kok lari?" Saya jawab, "Itu bukan lari, Mah, itu refleks keselamatan."