Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Saat Tren Rp 10.000 di Tangan Istri yang Tepat Jadi Romantisasi Kemiskinan

16 Oktober 2025   06:00 Diperbarui: 16 Oktober 2025   13:53 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi romantisasi kemiskinan (sumber:freepik/freepik)

Beberapa waktu terakhir, jagat media sosial diramaikan oleh tren bertajuk "Rp10.000 di tangan istri yang tepat." Sekilas, tren ini tampak ringan dan menghibur. 

Para kreator konten dengan gaya jenaka menunjukkan bagaimana mereka bisa mengolah uang sepuluh ribu rupiah menjadi lauk pauk sederhana: sepiring kangkung, sepotong tempe, dan sesendok sambal yang dibumbui senyum ikhlas. 

Namun di balik kehebohan itu, ada sesuatu yang menggelitik nurani --- sebuah romantisasi keterbatasan yang tanpa sadar menormalkan kemiskinan struktural.

Alih-alih sekadar tantangan lucu, tren ini justru mengundang perdebatan panjang. 

Banyak warganet menilai, "istri yang tepat" tidak semestinya diukur dari seberapa mampu ia menekan konsumsi hingga titik ekstrem, melainkan dari bagaimana pasangan saling berbagi tanggung jawab ekonomi dengan adil dan manusiawi. 

Sebab, tak semua bentuk "hemat" adalah kebajikan; sebagian justru bisa menjadi bentuk kekerasan finansial yang dibungkus kata "pengabdian."

Romantisasi Kemiskinan yang Menghibur

Internet punya cara ajaib untuk mengubah penderitaan menjadi hiburan. Tren "Rp10.000 di tangan istri yang tepat" adalah contoh paling mutakhir dari fenomena ini. 

Dalam video-video pendek, kita disuguhi adegan penuh kreativitas --- bagaimana uang receh bisa diubah menjadi makanan lezat, bahkan "masih bisa ditabung."

Namun, seperti banyak konten viral lainnya, tren ini menyentuh wilayah yang lebih dalam: kebutuhan psikologis manusia untuk merasa "cukup" meski dalam keterbatasan. 

Ia menumbuhkan narasi bahwa kebahagiaan bisa lahir dari kekurangan, dan bahwa perempuan "ideal" adalah mereka yang mampu memaklumi sempitnya dompet suami. Di titik inilah, batas antara kesederhanaan dan penindasan yang dirasionalisasi menjadi kabur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun