Beberapa waktu terakhir, jagat media sosial diramaikan oleh tren bertajuk "Rp10.000 di tangan istri yang tepat." Sekilas, tren ini tampak ringan dan menghibur.Â
Para kreator konten dengan gaya jenaka menunjukkan bagaimana mereka bisa mengolah uang sepuluh ribu rupiah menjadi lauk pauk sederhana: sepiring kangkung, sepotong tempe, dan sesendok sambal yang dibumbui senyum ikhlas.Â
Namun di balik kehebohan itu, ada sesuatu yang menggelitik nurani --- sebuah romantisasi keterbatasan yang tanpa sadar menormalkan kemiskinan struktural.
Alih-alih sekadar tantangan lucu, tren ini justru mengundang perdebatan panjang.Â
Banyak warganet menilai, "istri yang tepat" tidak semestinya diukur dari seberapa mampu ia menekan konsumsi hingga titik ekstrem, melainkan dari bagaimana pasangan saling berbagi tanggung jawab ekonomi dengan adil dan manusiawi.Â
Sebab, tak semua bentuk "hemat" adalah kebajikan; sebagian justru bisa menjadi bentuk kekerasan finansial yang dibungkus kata "pengabdian."
Romantisasi Kemiskinan yang Menghibur
Internet punya cara ajaib untuk mengubah penderitaan menjadi hiburan. Tren "Rp10.000 di tangan istri yang tepat" adalah contoh paling mutakhir dari fenomena ini.Â
Dalam video-video pendek, kita disuguhi adegan penuh kreativitas --- bagaimana uang receh bisa diubah menjadi makanan lezat, bahkan "masih bisa ditabung."
Namun, seperti banyak konten viral lainnya, tren ini menyentuh wilayah yang lebih dalam: kebutuhan psikologis manusia untuk merasa "cukup" meski dalam keterbatasan.Â
Ia menumbuhkan narasi bahwa kebahagiaan bisa lahir dari kekurangan, dan bahwa perempuan "ideal" adalah mereka yang mampu memaklumi sempitnya dompet suami. Di titik inilah, batas antara kesederhanaan dan penindasan yang dirasionalisasi menjadi kabur.