Beberapa tahun terakhir, istilah frugal living semakin sering muncul di media sosial maupun obrolan sehari-hari.Â
Banyak orang menyebutnya sebagai gaya hidup hemat, sederhana, atau cermat dalam mengatur keuangan. Namun, sering kali istilah ini disalahartikan hanya sebagai sekadar pelit atau menekan diri habis-habisan agar terlihat hemat.Â
Padahal, frugal living sejatinya bukan soal adu nasib siapa yang bisa hidup dengan pengeluaran paling minim, melainkan tentang kesadaran penuh ketika mengeluarkan uang.
Frugal living menekankan sikap cermat dan bijak. Setiap rupiah yang dikeluarkan dipertimbangkan nilai dan dampaknya bagi hidup. Apakah pengeluaran tersebut benar-benar membuat kita lebih bahagia atau sekadar ikut tren sesaat?Â
Dengan kata lain, frugal living tidak menolak konsumsi, melainkan mengajarkan kita untuk lebih selektif dan sadar saat membelanjakan uang.
Fenomena ini semakin populer terutama di kalangan anak muda yang mulai resah dengan tingginya biaya hidup, sulitnya membeli rumah, hingga tekanan sosial untuk selalu terlihat mapan.Â
Tak heran, frugal living sering dikaitkan dengan tujuan jangka panjang yang lebih besar, yaitu financial freedom atau kebebasan finansial.
Awal Mula Frugal Living: Dari Terpaksa Jadi Pilihan
Seorang pekerja muda yang saya temui pernah menceritakan bagaimana ia begitu bersemangat menerapkan frugal living.Â
Awalnya, ia mulai dengan langkah kecil: membawa bekal dari rumah, membatasi ngopi di kafe, dan memotong langganan aplikasi hiburan.Â
Semua terasa masuk akal dan memberi efek positif. Ia bisa menabung lebih banyak, merasa lebih terkontrol, dan tidak lagi khawatir setiap akhir bulan.