Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Tak Lagi Mengejar Jabatan, Gen Z Pilih Career Minimalism demi Hidup Seimbang

28 September 2025   12:38 Diperbarui: 28 September 2025   12:38 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun terakhir, dunia kerja mulai dipenuhi istilah baru yang menggambarkan perubahan cara pandang generasi muda terhadap karier. 

Salah satu yang kini ramai dibicarakan adalah career minimalism. Fenomena ini muncul seiring semakin banyak Gen Z yang meninggalkan pola pikir tradisional tentang karier. 

Jika generasi sebelumnya memandang kesuksesan sebagai jabatan tinggi di perusahaan atau posisi manajerial yang prestisius, generasi ini justru lebih memilih jalan berbeda: karier yang fleksibel, stabil, dan tetap memberi ruang bagi keseimbangan hidup.

Bagi Gen Z, pekerjaan hanyalah satu aspek dari hidup, bukan identitas utama. Mereka melihat kerja sebagai sarana menciptakan kestabilan finansial, sementara passion dan ambisi pribadi dikejar lewat jalur lain seperti side hustle atau hobi. 

Pergeseran ini membuat perusahaan harus beradaptasi, karena meniti karier di jalur tradisional tidak lagi menjadi primadona bagi anak muda zaman sekarang.

Apa Sebenarnya Career Minimalism?

Career minimalism dapat dipahami sebagai pendekatan baru terhadap karier yang lebih menekankan keseimbangan hidup ketimbang mengejar jabatan tinggi. 

Generasi sebelumnya sering mengidentikkan kesuksesan dengan posisi manajerial, kantor besar, atau kenaikan gaji yang signifikan. 

Namun, anak muda kini lebih realistis: mereka ingin hidup yang stabil, bebas, dan punya ruang untuk diri sendiri. Pekerjaan utama mereka pandang sebagai sumber keamanan finansial, tetapi passion justru dilakukan di luar itu.

Penelitian Glassdoor menyebutkan istilah career lily pad untuk menggambarkan preferensi Gen Z. 

Jika generasi lama memandang karier seperti tangga yang harus didaki satu per satu hingga puncak, Gen Z lebih suka melompat-lompat seperti di atas daun teratai: berpindah pekerjaan, peran, atau industri sesuai kebutuhan dan nilai hidup mereka. 

Bagi mereka, kerja tidak lagi sekadar soal "naik pangkat" melainkan tentang mencari tempat yang sesuai dengan jati diri.

Mengapa Career Minimalism Muncul?

Fenomena ini bukan muncul begitu saja. Ada beberapa latar belakang sosial, ekonomi, dan psikologis yang membuat career minimalism semakin relevan. 

Pertama, dunia kerja kini penuh ketidakpastian. Perkembangan teknologi, maraknya otomatisasi dan AI, serta gelombang PHK massal membuat posisi tinggi di perusahaan tidak lagi menjamin keamanan jangka panjang. Bahkan, banyak eksekutif senior pun kini tidak kebal terhadap restrukturisasi.

Kedua, burnout menjadi masalah besar. Generasi milenial telah lebih dulu merasakannya---jam kerja panjang, tekanan target, dan tuntutan loyalitas tanpa batas---sehingga Gen Z belajar dari pengalaman itu. 

Mereka lebih realistis, menganggap pekerjaan sebagai sarana bertahan hidup dan bukan penentu identitas pribadi. Ambisi mereka bergeser: bukan jabatan tinggi, tetapi hidup yang seimbang, sehat, dan bermakna.

Ketiga, akses digital dan ekosistem ekonomi kreatif memungkinkan orang untuk menyalurkan passion di luar pekerjaan utama. 

Dengan internet, media sosial, dan platform freelance, orang bisa mengembangkan bisnis sampingan atau proyek kreatif tanpa harus terikat dengan satu perusahaan.

Gen Z Tidak Lagi Mengejar Jabatan

Bagi banyak Gen Z, jabatan bukan segalanya. Mereka cenderung tidak tertarik menjadi manajer jika hanya demi titel tanpa kompensasi yang setimpal. 

Meski begitu, bukan berarti mereka anti memimpin. Mereka hanya lebih selektif: jika posisi manajerial memberikan fleksibilitas, ruang berkembang, dan kompensasi yang jelas, mereka akan mempertimbangkannya. 

Tetapi jika hanya simbol status dengan beban berlebih, mereka akan menolaknya.

Gaya hidup mereka cenderung lebih santai namun berorientasi pada kualitas. Work life balance menjadi prioritas yang nyata, bukan jargon. 

Mereka juga menghargai budaya kerja yang terbuka, fleksibel, dan suportif. Pola kepemimpinan otoriter atau kaku bagi mereka adalah sesuatu yang ketinggalan zaman. 

Gen Z ingin bekerja dengan nilai yang sejalan dengan hidup mereka, bukan semata-mata demi promosi.

Pentingnya Side Hustle bagi Gen Z

Di era career minimalism, side hustle menjadi bagian penting dalam hidup anak muda. 

Gen Z dikenal sebagai generasi "Employee+", yang berarti mereka bukan hanya karyawan, tetapi juga pelaku usaha kecil, kreator konten, freelancer, atau pengembang proyek sampingan.

Data Harris Poll menunjukkan 57% Gen Z memiliki side hustle---angka yang lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya. 

Pekerjaan sampingan ini bukan hanya untuk menambah penghasilan, tetapi juga menjaga passion, mengasah skill, dan sebagai sarana ekspresi diri. 

Dari berjualan online, menjadi influencer, hingga freelancing kreatif, side hustle menjadi cara Gen Z mendefinisikan kesuksesan versi mereka sendiri.

Fenomena ini juga menunjukkan bahwa pekerjaan utama tidak lagi memonopoli identitas seseorang. 

Karier profesional hanya satu sisi dari kehidupan, sementara sisi lain diisi dengan aktivitas produktif yang memberi kepuasan emosional. Inilah salah satu alasan mengapa career minimalism semakin populer.

Dampak Career Minimalism bagi Perusahaan

Tren career minimalism memiliki implikasi besar bagi perusahaan. Jika banyak talenta muda tidak lagi mengejar posisi manajerial, muncul risiko perusahaan akan kesulitan mencari calon pemimpin masa depan. 

Calibre Careers, misalnya, menyebutkan potensi terjadinya kekurangan pemimpin di masa depan karena generasi muda tidak tertarik mengejar jabatan tinggi.

Selain itu, promosi jabatan yang selama ini dianggap sebagai insentif karier mungkin tidak lagi efektif. Perusahaan harus memikirkan ulang cara menarik dan mempertahankan talenta terbaik. 

Apakah melalui fleksibilitas kerja? Program pengembangan diri? Budaya kerja yang sehat? Semua ini kini lebih bernilai ketimbang sekadar kenaikan pangkat.

Jika perusahaan gagal beradaptasi, mereka berisiko kehilangan talenta muda ke startup, proyek kreatif, atau pekerjaan freelance yang lebih sesuai dengan nilai hidup mereka. 

Perusahaan yang kaku dengan model lama akan semakin sulit menarik anak muda yang lebih sadar akan keseimbangan hidup dan otonomi diri.

Adaptasi Perusahaan terhadap Tren Baru

Menghadapi career minimalism, perusahaan perlu melakukan transformasi budaya kerja. 

Tidak cukup hanya menawarkan gaji kompetitif, mereka juga perlu menciptakan lingkungan kerja yang sehat, fleksibel, dan bermakna. 

Beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan antara lain memberi jam kerja fleksibel, opsi remote atau hybrid, serta program pengembangan keterampilan di luar job description utama.

Perusahaan juga perlu mendesain ulang jalur karier. Bukan lagi tangga lurus menuju manajerial, tetapi jalur beragam sesuai minat dan keahlian karyawan. 

Dengan cara ini, karyawan merasa diberi ruang berkembang tanpa harus menjadi manajer jika itu bukan aspirasi mereka. 

Pendekatan ini tidak hanya mempertahankan talenta, tetapi juga menghindarkan burnout dan meningkatkan produktivitas jangka panjang.

Masa Depan Career Minimalism

Tren career minimalism tampaknya bukan sekadar tren sementara, melainkan transformasi mendalam dalam cara generasi muda memandang pekerjaan. 

Seiring berkembangnya teknologi, gaya hidup, dan akses terhadap sumber penghasilan alternatif, kemungkinan besar career minimalism akan semakin meluas.

Namun, bukan berarti generasi muda kehilangan ambisi. Mereka hanya mendefinisikan ulang kesuksesan dengan cara yang lebih personal dan realistis. 

Kesuksesan kini bukan semata-mata jabatan, tetapi kualitas hidup, kebebasan waktu, dan ruang untuk mengejar passion.

Perusahaan yang bisa memahami perubahan ini dan menyesuaikan strategi mereka akan lebih unggul dalam menarik serta mempertahankan talenta terbaik. Sebaliknya, mereka yang terjebak pada pola lama mungkin akan ditinggalkan.

Kesimpulan

Career minimalism mencerminkan perubahan besar dalam paradigma dunia kerja. Gen Z tidak lagi melihat pekerjaan sebagai pusat identitas atau satu-satunya jalan menuju kesuksesan. 

Mereka mengutamakan fleksibilitas, keseimbangan hidup, serta peluang untuk menyalurkan passion di luar pekerjaan utama.

Perusahaan yang mampu membaca tren ini akan lebih mudah beradaptasi dengan realitas baru tenaga kerja. 

Sebaliknya, mereka yang tetap memaksakan model lama berisiko kehilangan generasi pemimpin masa depan. 

Career minimalism bukan sekadar "malas bekerja" seperti stereotip yang sering muncul, melainkan cara baru untuk menciptakan kehidupan yang lebih sehat, seimbang, dan berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun