Bagi mereka, kerja tidak lagi sekadar soal "naik pangkat" melainkan tentang mencari tempat yang sesuai dengan jati diri.
Mengapa Career Minimalism Muncul?
Fenomena ini bukan muncul begitu saja. Ada beberapa latar belakang sosial, ekonomi, dan psikologis yang membuat career minimalism semakin relevan.Â
Pertama, dunia kerja kini penuh ketidakpastian. Perkembangan teknologi, maraknya otomatisasi dan AI, serta gelombang PHK massal membuat posisi tinggi di perusahaan tidak lagi menjamin keamanan jangka panjang. Bahkan, banyak eksekutif senior pun kini tidak kebal terhadap restrukturisasi.
Kedua, burnout menjadi masalah besar. Generasi milenial telah lebih dulu merasakannya---jam kerja panjang, tekanan target, dan tuntutan loyalitas tanpa batas---sehingga Gen Z belajar dari pengalaman itu.Â
Mereka lebih realistis, menganggap pekerjaan sebagai sarana bertahan hidup dan bukan penentu identitas pribadi. Ambisi mereka bergeser: bukan jabatan tinggi, tetapi hidup yang seimbang, sehat, dan bermakna.
Ketiga, akses digital dan ekosistem ekonomi kreatif memungkinkan orang untuk menyalurkan passion di luar pekerjaan utama.Â
Dengan internet, media sosial, dan platform freelance, orang bisa mengembangkan bisnis sampingan atau proyek kreatif tanpa harus terikat dengan satu perusahaan.
Gen Z Tidak Lagi Mengejar Jabatan
Bagi banyak Gen Z, jabatan bukan segalanya. Mereka cenderung tidak tertarik menjadi manajer jika hanya demi titel tanpa kompensasi yang setimpal.Â
Meski begitu, bukan berarti mereka anti memimpin. Mereka hanya lebih selektif: jika posisi manajerial memberikan fleksibilitas, ruang berkembang, dan kompensasi yang jelas, mereka akan mempertimbangkannya.Â
Tetapi jika hanya simbol status dengan beban berlebih, mereka akan menolaknya.
Gaya hidup mereka cenderung lebih santai namun berorientasi pada kualitas. Work life balance menjadi prioritas yang nyata, bukan jargon.Â