Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Games Pilihan

Main Roblox Bisa Bahaya Buat Anak, Beneran Nih?

21 Agustus 2025   06:00 Diperbarui: 2 September 2025   09:16 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi game (sumber:freepik/xvector)

Perdebatan mengenai game Roblox yang belakangan mencuat menunjukkan bagaimana dunia digital saat ini menjadi perhatian serius pemerintah. 

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan bahwa ada potensi konten tidak pantas dalam game tersebut yang bisa berpengaruh negatif terhadap perilaku anak. 

Menurutnya, jika sebuah game mengandung unsur kekerasan, tindakan pemblokiran bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan.

"Kalau memang itu mengandung unsur-unsur kekerasan, ya kita tutup, nggak ada masalah," ujarnya, dikutip dari detikcom.

Pernyataan itu bukan sekadar ancaman terhadap satu judul game, melainkan gambaran sikap pemerintah terhadap semua bentuk konten digital. 

Media sosial, televisi, platform video, hingga game menjadi ruang baru di mana anak-anak bisa terpapar berbagai pengaruh, baik yang positif maupun yang negatif. 

Maka, pengawasan menjadi sangat penting untuk memastikan generasi muda tidak terjerumus dalam paparan yang salah.

Regulasi, Evaluasi, dan Tanggung Jawab Negara

Pemerintah sendiri tidak berjalan sendirian dalam menghadapi masalah ini. Menurut Prasetyo Hadi, koordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terus dilakukan. 

Salah satu langkah yang ditempuh adalah evaluasi rutin untuk menentukan apakah sebuah game layak dimainkan oleh anak-anak.

Evaluasi semacam ini menjadi relevan karena perkembangan teknologi begitu cepat, sementara regulasi sering kali tertinggal. 

Setiap bulan bisa muncul ratusan game baru, dengan genre dan konten yang sangat beragam. Jika tidak ada mekanisme filter, orang tua bisa kewalahan membedakan mana game yang aman, mana yang sebaiknya dihindari.

Namun, regulasi dari pemerintah memiliki keterbatasan. Pemblokiran game yang dianggap berbahaya mungkin bisa mengurangi risiko, tetapi di sisi lain bisa menimbulkan resistensi dari sebagian masyarakat yang menilai langkah itu terlalu berlebihan. 

Terlebih, akses internet begitu luas, sehingga pemblokiran di satu negara tidak selalu berarti anak-anak akan benar-benar terbebas dari konten berbahaya.

Antara Hiburan, Sosialisasi, dan Risiko

Bagi anak-anak dan remaja, game online bukan sekadar hiburan, melainkan juga sarana bersosialisasi. 

Melalui game seperti Roblox, anak bisa bermain dengan teman, membuat dunia virtual, bahkan berkreasi menciptakan konten sendiri. 

Di sinilah letak tantangannya: ruang kreatif dan sosial yang terbuka juga menghadirkan celah bagi masuknya konten tidak pantas.

Game online dengan interaksi antar pemain membuka peluang terjadinya cyberbullying, perundungan verbal, atau bahkan eksploitasi. 

Anak-anak yang masih lugu bisa menjadi target pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. 

Fenomena ini bukan hal baru; berbagai laporan di dunia menunjukkan bahwa platform game kerap disalahgunakan untuk hal-hal yang jauh dari tujuan hiburan.

Maka, wajar jika pemerintah merasa perlu turun tangan. Namun, pengawasan yang ketat dari negara saja tidak cukup. 

Peran keluarga, khususnya orang tua, justru menjadi kunci utama agar anak bisa tetap bermain dengan aman tanpa kehilangan kesempatan untuk menikmati sisi positif dari dunia digital.

Game Seperti Apa yang Aman untuk Anak?

Lalu, jika Roblox pada akhirnya benar-benar diblokir, game seperti apa yang bisa dijadikan alternatif? 

Pertanyaan ini penting karena tidak mungkin anak dilarang total untuk bermain. Dunia anak adalah dunia bermain, dan di era digital, game menjadi salah satu bentuk permainan yang paling populer.

Game yang aman untuk anak harus memenuhi beberapa kriteria. Pertama, kesesuaian dengan usia. 

Game yang menampilkan kekerasan, darah, atau bahasa kasar tentu tidak tepat untuk dimainkan oleh anak-anak. Sebagai gantinya, game edukasi atau simulasi yang ramah anak bisa menjadi pilihan. 

Misalnya, game yang melatih logika, kreativitas, atau kemampuan membaca. Dengan begitu, anak tidak hanya terhibur tetapi juga belajar.

Kedua, orang tua perlu memperhatikan rating usia yang sudah disediakan oleh platform resmi seperti Google Play Store atau App Store. 

Sistem rating ini memang tidak selalu sempurna, namun tetap bisa menjadi panduan awal untuk menilai apakah sebuah game sesuai dengan tahap perkembangan anak.

Ketiga, faktor interaksi. Game offline memiliki keunggulan karena tidak melibatkan komunikasi dengan orang asing, sehingga risiko cyberbullying atau manipulasi online bisa ditekan. 

Namun, jika anak ingin bermain game online, pilihlah yang menyediakan fitur kontrol orang tua. 

Fitur ini memungkinkan orang tua mengatur siapa saja yang bisa berinteraksi dengan anak, serta memblokir obrolan atau fitur tertentu yang dianggap berbahaya.

Nilai Edukasi dalam Game

Salah satu manfaat besar dari game yang sering dilupakan adalah potensi edukatifnya. Game yang baik bukan hanya memberikan hiburan, tetapi juga bisa menjadi media pembelajaran yang efektif. 

Misalnya, game yang melatih matematika dasar, meningkatkan kemampuan membaca, mengasah ingatan, atau melatih keterampilan problem solving.

Studi psikologi anak menunjukkan bahwa permainan interaktif dapat membantu mengembangkan kemampuan kognitif, memperkuat daya ingat, dan menumbuhkan kreativitas. 

Bahkan, game tertentu bisa membantu anak memahami konsep sains, sejarah, atau bahasa dengan cara yang menyenangkan.

Dengan kata lain, waktu yang dihabiskan anak untuk bermain game tidak selalu sia-sia. Jika orang tua mampu memilih game yang tepat, maka aktivitas bermain bisa berkontribusi positif terhadap tumbuh kembang anak.

Perbandingan dengan Negara Lain

Isu game dan anak-anak bukan hanya terjadi di Indonesia. Banyak negara lain juga bergulat dengan dilema yang sama. 

Di Tiongkok, misalnya, pemerintah memberlakukan aturan ketat mengenai durasi bermain game bagi anak-anak. 

Anak di bawah umur hanya diizinkan bermain game online pada jam tertentu, dengan batasan waktu yang ketat setiap minggunya.

Sementara itu, di negara-negara Eropa, pendekatannya lebih longgar. Pemerintah tidak banyak melakukan pemblokiran, melainkan fokus pada edukasi orang tua dan literasi digital. 

Mereka percaya bahwa pendampingan keluarga lebih efektif dibandingkan sekadar melarang.

Indonesia masih mencari posisi yang tepat di antara dua pendekatan tersebut. 

Di satu sisi, ada tuntutan untuk melindungi anak dengan pemblokiran. Di sisi lain, ada kebutuhan untuk memberikan ruang bagi kreativitas digital yang sehat.

Tantangan Orang Tua di Era Digital

Pada akhirnya, peran terbesar tetap ada di tangan orang tua. Dunia digital terlalu luas untuk diawasi sepenuhnya oleh pemerintah. 

Orang tua perlu menjadi gatekeeper yang mengarahkan anak pada konten yang bermanfaat dan membatasi akses ke konten berbahaya.

Tantangan ini tidak mudah. Banyak orang tua yang mungkin tidak cukup paham tentang teknologi, sehingga kesulitan membedakan mana game yang aman, mana yang berisiko. 

Belum lagi, anak-anak sering kali lebih cepat menguasai teknologi dibandingkan orang tuanya. Situasi ini bisa menimbulkan jurang yang menyulitkan pengawasan.

Namun, ada beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan. Misalnya, orang tua bisa ikut mencoba game yang dimainkan anak, membicarakan pengalaman bermain bersama, dan menjadikan game sebagai sarana interaksi keluarga. 

Dengan begitu, anak tidak merasa diawasi secara kaku, tetapi justru mendapat pendampingan yang hangat.

Menjaga Keseimbangan

Diskusi tentang Roblox sesungguhnya membuka percakapan yang lebih luas mengenai bagaimana kita menjaga keseimbangan dalam kehidupan digital. 

Anak-anak tidak bisa dijauhkan sepenuhnya dari teknologi, karena dunia mereka memang dibentuk oleh perkembangan digital. 

Namun, membiarkan mereka tanpa pengawasan sama saja dengan membiarkan mereka berjalan tanpa peta di jalanan yang berbahaya.

Maka, kuncinya adalah keseimbangan. Anak tetap boleh bermain game, asalkan sesuai usia, aman, dan mengandung nilai positif. Pemerintah tetap bisa mengatur, tetapi orang tua harus mendampingi. 

Dengan kolaborasi keduanya, anak-anak bisa tumbuh sehat di era digital tanpa kehilangan kesempatan untuk menikmati hiburan modern.

Penutup

Polemik Roblox hanyalah salah satu contoh dari tantangan besar yang dihadapi generasi digital. Dunia maya penuh dengan peluang sekaligus risiko. 

Anak-anak berhak menikmati hiburan yang menyenangkan, tetapi juga berhak mendapatkan perlindungan dari konten yang bisa merusak perkembangan mereka.

Pemblokiran mungkin menjadi solusi sementara, tetapi bukan jawaban jangka panjang. Kuncinya terletak pada literasi digital, pengawasan orang tua, serta kerja sama antara pemerintah, industri, dan masyarakat.

Pada akhirnya, yang terpenting bukan sekadar memilih apakah anak boleh bermain Roblox atau tidak, melainkan bagaimana kita semua memastikan bahwa pengalaman digital mereka aman, bermanfaat, dan mendukung tumbuh kembang di masa depan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Games Selengkapnya
Lihat Games Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun