Di balik senyum dan sikap dewasa seorang anak sulung, seringkali tersembunyi beban yang tidak terlihat.Â
Menjadi anak pertama dalam keluarga sering dianggap sebagai sebuah kehormatan, simbol kebanggaan, bahkan penentu masa depan keluarga.Â
Namun kenyataannya, banyak anak sulung yang tumbuh dengan perasaan tidak pernah benar-benar menjadi prioritas.Â
Mereka lebih sering diminta untuk memahami ketimbang dipahami, untuk mengalah ketimbang dimenangkan, dan untuk memikul beban keluarga lebih dulu sebelum memikirkan kebutuhannya sendiri.
Saya sendiri adalah anak pertama dari dua bersaudara.Â
Sejak kecil, sudah terbiasa mendengar kalimat seperti "kamu kan kakak, harus ngalah", atau "kakaknya harus jaga adik". Padahal saya juga masih "anak-anak", umur kami juga hanya selisih 1,5 tahun.Â
Hal-hal semacam ini terlihat wajar, bahkan dianggap sebagai bagian dari didikan.Â
Tapi ketika tumbuh dewasa, apalagi memasuki usia pertengahan 20-an, semua ekspektasi itu berubah menjadi tanggung jawab nyata yang terasa begitu berat.Â
Anak sulung menjadi orang yang pertama ditanya saat orang tua butuh bantuan, orang yang pertama dipanggil saat keluarga dilanda masalah, dan yang paling sering diminta berkorban saat kondisi keuangan keluarga sedang tidak stabil.
Realita yang Sering Tak Terucapkan
Tidak sedikit anak sulung yang pada akhirnya menjadi tulang punggung keluarga tanpa pernah benar-benar diminta secara langsung.Â