Dalam banyak kasus, pekerja kontrak bekerja lebih keras dan lebih lama dari pegawai tetap, namun tetap berada dalam posisi rentan dan mudah tergantikan.Â
Situasi ini menciptakan ketakutan yang konstan dan membuat pekerja tidak bisa merencanakan masa depan.Â
Ketika tidak ada kepastian apakah kontrak akan diperpanjang atau tidak, maka sulit untuk memikirkan tabungan, kredit rumah, atau masa pensiun.
Sistem kontrak dan outsourcing ini juga menghambat perkembangan karier.Â
Banyak pekerja tidak memiliki kesempatan untuk naik jabatan atau memperoleh pelatihan tambahan karena status kerja mereka tidak dianggap sebagai bagian dari struktur permanen perusahaan.Â
Mereka hanyalah "tenaga" yang disewa, bukan sumber daya yang dikembangkan.
Budaya Tanggung Jawab Sosial: Gaji Minimum, Beban Maksimum
Satu aspek yang sering terlupakan dalam pembahasan tentang UMR adalah budaya gotong royong dan tanggung jawab sosial yang masih kental di Indonesia.Â
Banyak pekerja, terutama yang merantau ke kota besar, merasa bertanggung jawab untuk mengirim uang ke kampung halaman.Â
Gaji mereka yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pribadi, akhirnya dibagi untuk membantu orang tua, membayar sekolah adik, atau membiayai kebutuhan kesehatan keluarga.
Fenomena ini menciptakan tekanan ganda. Di satu sisi, pekerja harus bertahan hidup di kota dengan gaji pas-pasan. Di sisi lain, mereka merasa bersalah jika tidak bisa membantu keluarga.Â
Akibatnya, pekerja mengalami kelelahan emosional dan tidak bisa menempatkan diri mereka sendiri sebagai prioritas. Setiap keputusan keuangan menjadi pertarungan antara kewajiban dan kebutuhan pribadi.