Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Sarjana Ekonomi Universitas Negeri Malang, suka menulis tentang ekonomi dan puisi, pegiat literasi keuangan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Karoshi: Dampak Budaya Kerja Berlebihan terhadap Kesehatan Mental di Jepang

14 Februari 2024   18:00 Diperbarui: 16 Februari 2024   00:16 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi jepang. sumber: freepik

Jepang, sebuah negara yang terkenal dengan budaya kerja yang sangat rajin dan disiplin, telah menjadi ikon kesuksesan ekonomi global. 

Warga Jepang dikenal sebagai individu yang aktif, berdedikasi, dan fokus pada pekerjaan mereka. 

Namun, di balik gemerlap kesuksesan ekonomi tersebut, ada bayang-bayang yang mengintai - budaya kerja yang berlebihan yang telah menyebabkan dampak negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan pekerja.

Budaya Kerja Jepang: Sejarah dan Perkembangannya

Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, Jepang merintis jalan menuju pemulihan ekonomi yang pesat. Masyarakat Jepang diberikan prinsip dan keyakinan untuk bekerja tanpa henti demi kemajuan negara. 

Prinsip ketekunan ini menjadi pendorong kuat di balik keberhasilan Jepang dalam bangkit dan tumbuh secara luar biasa, menjadikannya salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia saat ini.


Namun, keinginan untuk terus bekerja tanpa henti ini akhirnya memunculkan fenomena yang dikenal sebagai "karoshi" - kematian akibat bekerja terus-menerus. 

Kasus pertama karoshi terjadi pada tahun 1969, ketika seorang pekerja pria berusia 29 tahun meninggal akibat stroke saat bekerja di sebuah perusahaan surat kabar. 

Sejak saat itu, semakin banyak kasus kecelakaan yang terjadi di kalangan pekerja Jepang akibat budaya kerja yang berlebihan.

Karoshi: Ancaman Tersembunyi di Balik Kesuksesan

Karoshi, secara harfiah diartikan sebagai kematian akibat bekerja terus-menerus, bukan sekadar istilah yang mencerminkan keadaan fisik. Hal ini juga merangkum dampak yang mungkin terjadi pada kesehatan mental pekerja. 

Jumlah rata-rata kasus karoshi yang dilaporkan oleh pemerintah Jepang mencapai sekitar 2700 kasus setiap tahunnya. Lebih mengkhawatirkan lagi, mayoritas kasus ini melibatkan pekerja yang masih berusia muda dan produktif.

Kematian akibat karoshi umumnya disebabkan oleh penyakit fatal seperti stroke atau serangan jantung. Namun, stres dan depresi yang muncul akibat tekanan kerja juga menjadi penyebab bunuh diri di kalangan pekerja Jepang. 

Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa seseorang yang bekerja lebih dari 12 jam per hari selama bertahun-tahun cenderung mengalami gangguan kesehatan dan mental.

Budaya Kerja Ekstrem: Pengorbanan yang Terlalu Besar

Budaya kerja ekstrem di Jepang menghasilkan contoh-contoh yang benar-benar ekstrem. Beberapa pekerja dilaporkan bekerja lebih dari 4000 jam dalam setahun, setara dengan lima bulan penuh bekerja dan lembur tanpa henti. 

Fenomena ini mencerminkan bagaimana budaya korporat yang bersifat kompetitif dan menuntut dapat mendorong individu untuk mengorbankan waktu istirahat dan kehidupan pribadi demi mencapai target kerja yang tinggi.

Faktor penyebab budaya kerja ekstrem yang meluas di Jepang mencakup prinsip harga diri yang tinggi. Seseorang akan merasa malu jika tidak bisa bekerja sekeras atau sepanjang waktu seperti rekan kerjanya. 

Selain itu, ancaman pemecatan dan diskriminasi oleh manajemen perusahaan terhadap pekerja yang tidak memenuhi standar kekerasan kerja telah menjadi aturan tidak tertulis dalam dunia kerja Jepang.

Pekerja Jepang sering kali merasa terjebak dalam lingkaran setan ini, di mana bekerja lebih keras dan lebih lama menjadi norma yang sulit untuk dilanggar. 

Bahkan, banyak pekerja yang bekerja secara lembur siang dan malam seringkali tidak dibayar sesuai dengan upaya dan waktu kerja yang mereka curahkan.

Langkah Pemerintah dan Upaya Mengatasi Budaya Kerja Ekstrem

Menghadapi tantangan budaya kerja yang berlebihan, pemerintah Jepang telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi isu ini. 

Aturan dan regulasi diterapkan untuk membatasi jam kerja, dan perusahaan diwajibkan untuk memastikan agar pegawai mengambil cuti dan libur yang telah disediakan. 

Meskipun demikian, perlu diakui bahwa upaya ini belum mencapai titik di mana budaya kerja yang seimbang benar-benar terwujud.

Seiring dengan perubahan peraturan, penting juga untuk menciptakan kesadaran dan perubahan budaya di kalangan masyarakat dan perusahaan. 

Diskusi terbuka mengenai beban kerja, kesehatan mental, dan keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi harus diupayakan. 

Budaya ini membutuhkan perubahan yang mendalam, di mana pekerja diberikan ruang untuk berbicara tentang tantangan yang mereka hadapi tanpa takut akan stigma atau konsekuensi negatif.

Implikasi Kesehatan dan Kesejahteraan

Masalah budaya kerja ekstrem tidak hanya mencakup aspek fisik, melainkan juga memengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan pekerja. 

Banyak kasus karoshi berakhir dengan meninggalkan luka yang dalam bagi keluarga korban. 

Fenomena ini menciptakan lingkungan di mana para pekerja, terutama yang lebih muda, merasa terjebak dalam siklus tekanan kerja yang berlebihan.

Seseorang yang terus-menerus bekerja dalam lingkungan yang penuh tekanan dapat mengalami penurunan kualitas hidup secara menyeluruh. 

Tidak hanya dalam aspek pekerjaan, tetapi juga dalam hubungan sosial dan keluarga. Faktanya, banyak pekerja yang mengalami kesulitan dalam menjaga keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi, sehingga mengorbankan waktu berkualitas dengan keluarga dan teman-teman.

Menghadapi Tantangan Menuju Budaya Kerja yang Seimbang

Dalam menghadapi tantangan budaya kerja yang berlebihan, penting bagi masyarakat Jepang untuk merenung dan mencari solusi yang menjaga keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan kesejahteraan individu. 

Budaya kerja yang seimbang akan membawa dampak positif pada produktivitas, kesehatan mental, dan kualitas hidup secara keseluruhan.

Langkah-langkah konkrit dapat diambil untuk mencapai tujuan ini. 

Pertama-tama, pendidikan dan kesadaran mengenai pentingnya kesehatan mental dan keseimbangan hidup harus ditingkatkan di semua tingkatan masyarakat. Diskusi terbuka mengenai beban kerja, stres, dan kesehatan mental harus didorong di tempat kerja.

Selain itu, perusahaan-perusahaan juga perlu mengadopsi kebijakan yang mendukung keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi, seperti fleksibilitas waktu kerja, program kesejahteraan karyawan, dan lingkungan kerja yang mendukung. 

Pemerintah juga dapat memainkan peran yang penting dalam mengawasi dan menegakkan peraturan yang melindungi hak-hak pekerja, serta memberikan dukungan untuk program-program kesejahteraan di tempat kerja.

Kesimpulan

Budaya kerja Jepang yang terkenal dengan keuletan dan ketekunan telah memainkan peran penting dalam kesuksesan ekonomi negara tersebut. 

Namun, fenomena budaya kerja yang berlebihan telah menyebabkan dampak negatif yang signifikan pada kesehatan mental dan kesejahteraan pekerja.

Untuk mengatasi tantangan ini, perubahan budaya yang mendalam diperlukan, di mana keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi dihargai dan didukung. 

Dengan upaya bersama dari pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, Jepang dapat mengubah arah menuju budaya kerja yang lebih seimbang, yang menghargai kesehatan dan kesejahteraan pekerja sebagai prioritas utama. 

Budaya kerja yang seimbang bukan hanya membawa manfaat bagi individu, tetapi juga untuk kemajuan jangka panjang negara secara keseluruhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun