Mohon tunggu...
Misbah Fahrudin
Misbah Fahrudin Mohon Tunggu... Administrasi - Misbah

Perikanan dan Kelautan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Awan Tak Pernah Bicara

8 Mei 2016   19:27 Diperbarui: 9 Mei 2016   17:04 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: deviantart.net | Zelda Lover

Tik..tik..tik...
Suara rintik-rintik hujan sore itu, jatuh menabrak genting, jalan, dan tanah. Aku menengadah ke langit dari balik jendela posku. Matahari masih tersenyum, begitu pula dengan awan, sangat putih, sangat ramah, menjatuhkan jarum-jarum tak berwarna. Hendak menembus kanvas cokelat, lalu menggoreskan guratan-guratan warna yang jelita.

Aku melangkah menapaki kanvas cokelat itu. Berdiri menengadah dan merentangkan tangan, menghadang jarum-jarum menembus kanvas. Matahari mungkin geram. Ia pergi ke punggung awan. Yah, mungkin memang geram. Begitu pula dengan awan putih, ia pun pergi. Tinggallah awan yang hitam naik pitam. Ia menjatuhkan jarum-jarum yang lebih besar dan panjang. Jarum-jarum yang menembus tepat ke jantungku.

“Apakah engkau marah?”

Ia hanya diam, sambil terus menjatuhkan jarum-jarum. Lalu ia hanya diam, kali ini berhenti menjatuhkan jarum. Ia tampak sedih, lalu pergi. Kulihat raut masam di wajahnya.

Awan putih lalu datang bersama senja.

“Mengapa kalian tersenyum?” tanyaku. Mereka lalu menyuguhkan rona tujuh warna.

“Tak kulihat warna apapun, selain lengkungan yang melebar ke sudut bawah wajahmu, awan.” Mereka pergi meninggalkan senyuman.

Fajar menyingsing, menghunuskan pedang yang memotong sulaman pada kelopak mata. Aku terbangun dengan terhuyung-huyung. Seteguk air putih mulai menjalar ke seluruh tubuh, mengencangkan tiap-tiap tali dan kawat. Aku teringat beberapa saat kepada sebuah buku keramat. Buku yang menerangkan tentang ayam yang berkokok sebelum fajar terbangun. Aku teringat pula pada kran air yang selalu membunyikan decak sebelum fajar datang menyidak. Dan pada burung-burung yang berbaris rapat dengan fajar sebelum bertugas. Aku teguk lagi airku. Kemudian aku mendengar kokok ayam, terdengar gemetar. Kulihat fajar mulai memerah. Ia melotot ke arah ayam yang menunduk takut itu. Ia nampak sangat menyesal. Aku pun lalu mendengar kran yang tersedu-sedu menangis. Fajar sangat geram. Ia mulai merambatkan panas ke jagat raya. Aku seketika bergegas mengusap air mata kran itu, lalu menyusul beberapa burung yang terlambat pula berbaris dengan fajar. Kulihat mereka menangis.

Fajar telah selesai bertugas, kini ganti matahari yang berjaga. Secangkir kopi kuseduh, lalu kini tinggal ampasnya, cerutu yang kusulut tinggal abunya. Aku bergegas berangkat bersama teman satu pos. Hari ini kami mengunjungi posyandu di RT 03 Desa Bangrem untuk mengikuti kegiatan di sana. Beberapa anak kami tangani untuk diberikan vitamin dan vaksin, serta rekam medik.

Matahari hendak berpamit, berganti tugas dengan mega.

Pukul dua siang, kami semua pulang. Tali-tali di tubuh mulai mengendur, lelah tarik-menarik dari pagi. Kunyalakan cerutu, asapnya mulai menjalar ke seluruh tubuh, membuka pintu air di muara sungai merah, seketika tali-talipun mengencang lagi, menarik kelopak mata ke atas dan bawah. Dalam dudukku, kulihat pasukan burung menyapa, mengajak cengkerama, dan sejenak jalan-jalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun