Mohon tunggu...
Mirza Adi Prabowo
Mirza Adi Prabowo Mohon Tunggu... Psikolog Klinis

Psikolog klinis dengan minat pada membaca, menulis, fotografi, seni, dan dunia otomotif. Tertarik mengeksplorasi dinamika emosi, relasi manusia, dan proses penyembuhan jiwa. Menulis untuk menjembatani psikologi dengan kehidupan sehari-hari dan menyuarakan sisi humanis dari setiap pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Cermin Retak Dibalik Kelas Parenting

29 September 2025   07:11 Diperbarui: 29 September 2025   18:14 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun terakhir, kelas parenting jadi semacam "trend baru". Seminar di hotel penuh, webinar parenting laris, bahkan di media sosial muncul begitu banyak akun edukasi pengasuhan anak. Semua ini tentu menggembirakan, karena menunjukkan orang tua makin peduli terhadap tumbuh kembang anak.


Namun, ada fenomena menarik sekaligus mengkhawatirkan: banyak orang tua rajin ikut kelas parenting, mengoleksi materi, bahkan fasih menyebut teori psikologi perkembangan tetapi lupa satu hal penting: parenting bukan sekadar untuk mengubah anak, melainkan juga untuk mengubah diri sendiri sebagai orang tua.

Belajar Parenting, Tapi Lupa Belajar Diri

Kita sering mendengar ungkapan: "Anak adalah cermin orang tua." Dari kacamata psikologi, hal ini benar adanya. Menurut teori belajar sosial Albert Bandura (1977), anak-anak membentuk perilakunya dengan cara mengamati, meniru, dan menginternalisasi perilaku orang tua.

Artinya, ketika orang tua mengikuti kelas parenting lalu menuntut anaknya disiplin, sabar, dan mandiri, anak tidak akan serta-merta menjadi begitu hanya karena dikatakan. Ia akan menilai dari keseharian orang tua.

Sayangnya, masih banyak pola seperti ini:
*Orang tua menuntut anak disiplin belajar, tetapi dirinya sering bermain gadget di jam kerja.
*Orang tua ingin anak tidak gampang marah, tapi mereka sendiri mudah tersulut emosi di rumah.
*Orang tua berharap anak bisa percaya diri, tetapi mereka sendiri sering menjelekkan diri atau membandingkan diri dengan orang lain.

Inilah kontradiksi yang diam-diam ditangkap anak, dan jauh lebih kuat pengaruhnya daripada materi parenting ratusan jam sekalipun.

Obsesi Kesempurnaan: Benih Gangguan Psikologis


Tidak jarang, obsesi orang tua agar anak tumbuh "sempurna" justru menjadi beban psikologis.

Beberapa pola yang sering muncul antara lain:
1.Perfeksionisme maladaptif -- orang tua merasa gagal kalau anak tidak sesuai standar ideal (ranking, prestasi, kepatuhan).
2.Kecemasan berlebih (parental anxiety) -- orang tua tidak bisa rileks, selalu khawatir anak salah langkah, hingga akhirnya menjadi over-controlling.
3.Parenting burnout -- kelelahan mental karena merasa usaha besar tidak sebanding dengan hasil perkembangan anak.

Penelitian Mikolajczak, Roskam, & Gross (2019) menunjukkan bahwa burnout pada orang tua meningkat ketika ada ketidaksesuaian antara ekspektasi dengan realita pengasuhan. Artinya, semakin tinggi tuntutan yang tidak realistis, semakin besar risiko stres, frustasi, bahkan depresi pada orang tua.

Ironisnya, anak yang tumbuh di bawah tekanan orang tua perfeksionis ini sering justru mengalami masalah psikologis sendiri, seperti rendahnya self-esteem, kecemasan sosial, hingga kesulitan mengambil keputusan.

Mengaca Sebelum Mengajar

Sebelum memikirkan "bagaimana cara membuat anak sabar", mungkin orang tua perlu bertanya: "Apakah saya sudah cukup sabar?"


Sebelum berharap anak berani minta maaf, orang tua perlu bertanya: "Apakah saya pernah dengan tulus meminta maaf pada anak saya ketika saya salah?"

Proses parenting sejati dimulai dari keberanian orang tua untuk bercermin.

Ketika anak melihat ayahnya mengendalikan marah, ia belajar regulasi emosi.
Ketika anak mendengar ibunya berani bilang "Maaf, tadi Ibu salah", ia belajar kerendahan hati.
Ketika anak melihat orang tuanya berusaha memperbaiki diri, ia belajar bahwa manusia itu wajar salah, tapi lebih penting lagi wajar untuk berubah.

Sebelum memikirkan "bagaimana cara membuat anak sabar", mungkin orang tua perlu bertanya: "Apakah saya sudah cukup sabar?"
Sebelum berharap anak berani minta maaf, orang tua perlu bertanya: "Apakah saya pernah dengan tulus meminta maaf pada anak saya ketika saya salah?"

Proses parenting sejati dimulai dari keberanian orang tua untuk bercermin.

Ketika anak melihat ayahnya mengendalikan marah, ia belajar regulasi emosi.
Ketika anak mendengar ibunya berani bilang "Maaf, tadi Ibu salah", ia belajar kerendahan hati.
Ketika anak melihat orang tuanya berusaha memperbaiki diri, ia belajar bahwa manusia itu wajar salah, tapi lebih penting lagi wajar untuk berubah.

Kelas Parenting Hanya Jembatan, Bukan Tujuan

Mengikuti kelas parenting tentu bermanfaat---ia memberi wawasan, strategi, bahkan motivasi. Tetapi, itu semua hanyalah jembatan. Tujuan akhirnya adalah perubahan nyata dalam diri orang tua.

Tanpa keberanian untuk mengubah perilaku sendiri, parenting hanyalah teori di kepala. Anak tidak akan pernah merasakan dampak positifnya.

Pada akhirnya, anak tidak butuh orang tua yang sempurna. Anak hanya butuh orang tua yang mau tumbuh bersamanya.

Anak tidak akan mengingat betapa sering orang tuanya ikut seminar parenting. Tapi ia akan mengingat bagaimana orang tuanya menemaninya saat gagal, bagaimana orang tuanya berusaha sabar meski sulit, dan bagaimana orang tuanya tetap belajar meski usia bertambah.

Itulah warisan psikologis terbesar: bukan teori parenting, melainkan teladan hidup yang otentik.

Parenting adalah perjalanan dua arah. Ia bukan hanya tentang "membentuk anak", tetapi juga tentang "membentuk orang tua". Jika orang tua terlalu sibuk berharap anak tumbuh sempurna, sementara dirinya enggan mengoreksi diri, maka pengasuhan akan berubah menjadi ladang tekanan, bukan ruang tumbuh bersama.

Jadi, sebelum membuka catatan kelas parenting berikutnya, mari sejenak bercermin:
Apakah saya sudah siap ikut bertumbuh bersama anak saya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun