Mohon tunggu...
M Irham Fathoni
M Irham Fathoni Mohon Tunggu... Akuntan - Pegawai Negeri Sipil di Direktorat Jenderal Pajak

https://www.linkedin.com/in/muchamad-irham-fathoni-958083103/

Selanjutnya

Tutup

Money

Tekanan terhadap Rupiah di Tengah Penyebaran Covid-19

26 Maret 2020   15:20 Diperbarui: 26 Maret 2020   15:30 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tren pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS, yang telah terjadi sejak beberapa minggu lalu masih terus berlangsung. Nilai tukar Rupiah yang diperdagangkan telah melewati Rp 16.000 per Dolar AS yang dipicu oleh kekhawatiran pasar atas penyebaran virus COVID-19 di Indonesia.

Rupiah bereaksi terhadap tekanan domestik dan asing, yang merupakan dampak dari penyebaran COVID-19 di Indonesia. Pemicunya adalah karena tidak ada stigma positif mengenai penanganan COVID-19, yang dapat menenangkan pasar secara psikologis, sehingga memengaruhi iklim investasi dan menghambat perekonomian.

Jika kita membahas tekanan asing, pelemahan dipengaruhi oleh ketergantungan suatu negara pada perdagangan internasional dengan negara lain, efek kebijakan moneter dan fiskal negara lain, dan integrasi dalam pasar keuangan dunia. COVID-19, yang saat ini melanda dunia, menyebabkan contagion effect dimana saat ekonomi satu negara lesu, itu akan berdampak pada perekonomian negara lain.

Negara-negara yang paling rentan terkena imbas contagion effect adalah negara-negara berkembang seperti Indonesia. Negara berkembang mengalami percepatan pertumbuhan karena merupakan tujuan investasi alternatif selain negara maju, yang menyebabkan negara berkembang memperoleh capital inflow yang besar dari negara lain. Ketika diinvestasikan dalam instrumen investasi domestik, modal tersebut dapat berupa investasi asing langsung (FDI) atau hanya dalam bentuk investasi portofolio di pasar keuangan.

Jika diinvestasikan dalam bentuk FDI, investasi akan menguntungkan Indonesia karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan PDB, dan sebagai strategi jangka panjang untuk meningkatkan defisit neraca transaksi berjalan. Namun berbeda jika investasi hanya terbatas pada investasi portofolio di pasar keuangan. Investor mudah dapat dengan mudah memindahkan investasinya karena investasi portofolio cukup likuid.

Pada tahun 2018 misalnya, berdasarkan data yang dirilis oleh CEIC, pada kuartal ke-4 tahun 2018, FDI Indonesia adalah 2,6 USD bn sedangkan investasi portofolio adalah 11,48 USD bn dan pada 2019 FDI pada kuartal ke-4 sebesar 4,66 USD bn dan investasi portofolio sebesar 6,59 USD bn. Ini menunjukkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kurang dapat diandalkan, karena saat ada kondisi yang tidak stabil, capital outflow akan sangat tinggi dan niscaya akan melemahkan Rupiah.

Masalah muncul ketika Indonesia berada dalam epidemi COVID-19, investor asing dapat dengan mudah menarik investasi mereka dan arus keluar modal akan memiliki efek goncangan yang mendalam pada perekonomian Indonesia. Saat ini, investor bertindak rasional dengan mengalihkan aset investasi ke instrumen yang lebih aman, terutama obligasi AS, yen Jepang, dan emas. Oleh karena itu, hasil obligasi Treasury AS turun menjadi 1,30 persen sepanjang masa terendah karena investor mengalihkan dana ke obligasi AS, dan menjual aset investasi di Indonesia yang dianggap berisiko, yang memengaruhi Rupiah yang mendepresiasi nilai tukar terhadap Dolar AS.

Namun, penurunan nilai tukar Rupiah saat ini tidak hanya dipengaruhi oleh beberapa fundamental ekonomi di atas tetapi juga dipengaruhi oleh kebijakan negara lain. Salah satunya adalah Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed), yang akhirnya mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan suku bunga menjadi 0-0,25 persen untuk mengendurkan perekonomian.

The Fed telah melakukan pemotongan suku bunga terendah sejak 2015, yang bertujuan untuk mencegah lonjakan kredit macet karena ketidakstabilan ekonomi dan sebagai langkah untuk menggairahkan kembali pasar keuangan agar dapat menstabilkan permintaan agregat dan menjaga output nasional dan membentuk kestabilan harga. Tetapi ketika permintaan agregat menurun karena COVID-19, termasuk konsumsi dan investasi, itu dapat mendorong ekonomi menuju resesi, sehingga Fed harus meningkatkan jumlah uang beredar dan mengurangi tingkat bunga dalam paket kebijakan countercyclical dengan menerapkan pelonggaran kebijakan fiskal dan moneter.

Kebijakan yang diambil oleh Amerika seharusnya menjadi sentimen positif untuk indeks regional Indonesia, di mana ada aliran dana dari Amerika yang akan masuk sebagai capital inflow dan dapat mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah, seperti mata uang negara lain . Sebagai imbas dari kebijakan The Fed untuk menurunkan suku bunga, Euro menguat 0,69 persen, Franc Swiss naik 0,67 persen, Yen Jepang naik 0,69 persen. Negara-negara ini juga menerapkan kebijakan yang sama dengan Indonesia yakni menurunkan suku bunga bank sentral, meningkatkan jumlah uang beredar dan mendapatkan manfaat dari stimulus kebijakan moneter A.S. Lalu apa yang menyebabkan Rupiah terdepresiasi cukup dalam?

Ada tekanan dari faktor lain yang lebih berpengaruh seperti tekanan domestik dan stabilitas pasar. Ketika pasar bergejolak, pasar akan mencari likuiditas dan yang paling ditargetkan adalah Dolar AS. Investor cenderung melepas Rupiah yang sifatnya lebih lemah dari Dolar AS sehingga nilai Rupiah semakin terdepresiasi dibandingkan dengan Dolar AS, ditambah dengan kondisi yang masih belum kondusif. Tekanan domestik yang menyebabkan Rupiah terdepresiasi dikarenakan oleh kepanikan yang melanda Indonesia di tengah pencegahan dan penanganan COVID-19 di Indonesia. Pelaku ekonomi rasional karena takut COVID-19 masih akan meluas dan secara signifikan akan mengurangi pertumbuhan ekonomi. Kepanikan tersebut menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, yang merupakan salah satu faktor yang mendepresiasi Rupiah terhadap Dolar AS. Kekhawatiran pasar ini telah mengikis kepercayaan dalam memegang Rupiah dibandingkan dengan Dolar A.S.

Ekspektasi nilai Rupiah akan menguat tetap ada, mengingat bahwa Amerika juga harus mengurangi defisit perdagangan. Gangguan perdagangan yang disebabkan oleh COVID-19 membuat ekonomi AS berada dalam bahaya besar, karena ekspor sekitar 11,7 persen dari PDB AS, dan impor sama dengan 14,5 persen dari PDB. Jika ada penurunan nilai ekspor dan impor, penurunan pertumbuhan akan sangat tajam di Amerika Serikat. Dolar AS harus didepresiasi sehingga defisit perdagangan Amerika tidak terlalu besar dan untuk menjaga stabilitas pasar. Momentum ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah Indonesia sehingga Rupiah dapat menguat kembali.

Ketika Dolar AS terdepresiasi, Indonesia harus berhasil meyakinkan pelaku ekonomi dengan opini yang positif tentang penanganan kasus COVID-19 di Indonesia sehingga meningkatkan kepercayaan publik, kemudian mengoptimalkan produksi sektor unggulan, mengintervensi pasar valuta asing untuk mengendalikan fluktuasi rupiah, pembelian obligasi pemerintah, memperkuat cadangan devisa, membuat perubahan dalam mekanisme melelang deposito berjangka dan mengurangi batas pembelian mata uang asing.

Rupiah harus menguat kembali dengan memanfaatkan momentum Dolar AS terdepresiasi dan selain itu ada keuntungan lain karena Amerika juga menerapkan Quantitative Easing sehingga pemerintah harus menyiapkan kebijakan yang komprehensif dan diterapkan segera sebelum di masa depan, tapering off dilakukan oleh The Fed yang bisa mengikis Rupiah lebih dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun