Pernikahan anak usia dini masih menjadi salah satu tantangan besar yang dihadapi masyarakat Indonesia, terutama di daerah-daerah dengan akses terbatas terhadap edukasi dan fasilitas kesehatan. Lombok Utara, khususnya beberapa wilayah di Lombok Utara terutama Tanjung, menjadi sorotan karena tingginya angka pernikahan dini dan konsekuensi sosial yang menyertainya. Melalui agenda program kerja sekaligus upaya edukasi yang dilakukan oleh KKP UIN Mataram di Selengen pada Kamis, 31 Juli lalu tepatnya di  SMK Negeri 1 Kayangan, kita disuguhkan potret nyata perjuangan dalam menciptakan lingkungan sosial yang lebih ramah untuk perempuan.
Pada kegiatan edukasi tersebut, KKP UIN Mataram mengandeng dua narasumber yaitu Ibu Endang Junaela, S.ST., Ners dari Puskesmas Kayangan sekaligus pimpinan  Pustu yang ada di Desa Selengen dan Ibu Yunita Alfiana Aziza, S.sos perwakilan dari KUA  Kecamatan Kayangan hadir untuk memberikan pencerahan terkait pernikahan anak usia dini. Endang Junaela, S.ST., Nersmenekankan risiko kesehatan: remaja perempuan yang hamil berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi kehamilan, persalinan prematur, anemia, serta kematian ibu dan bayi. Hal serupa kerap diperburuk oleh minimnya akses gizi dan pengetahuan kesehatan di tingkat akar rumput. Data empiris menunjukkan remaja perempuan yang menikah dini cenderung tidak menyelesaikan pendidikan, sehingga sulit meningkatkan taraf hidup dan berpotensi terjebak pada lingkaran kemiskinan.
Sementara itu, narasumber dari KUA Â Yunita Alfiana Aziza, menyoroti aspek non-medis:berupa kesiapan mental, emosional, sosial, hingga pengetahuan hukum dan agama dalam membangun keluarga. Banyak pernikahan dini bermula dari tekanan lingkungan atau "mitos budaya" yang menormalisasi pernikahan di usia muda sebagai solusi masalah ekonomi atau upaya menjaga kehormatan keluarga. Padahal, fakta di lapangan menunjukkan paradoks: lonjakan status janda muda yang terjadi akibat gagalnya rumah tangga justru memperburuk stigma dan beban sosial-tambahan khususnya pada perempuan.
Â
Wilayah Tanjung di Lombok Utara kini menempati urutan kedua sebagai daerah dengan indikasi jumlah janda terbanyak di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Fenomena ini erat kaitannya dengan tingginya angka pernikahan dini dan minimnya akses terhadap edukasi  seksualitas, reproduksi, serta perlindungan sosial terhadap perempuan. Janda-janda muda tidak hanya menghadapi stigma negatif, tetapi juga rawan mengalami diskriminasi ekonomi, sulit mendapat pekerjaan layak, dan sering menjadi korban kekerasan rumah tangga yang berujung pada perceraian.
Menarik untuk dicatat, data ini bukan sekadar angka statistik, melainkan representasi nyata dari ribuan cerita dan harapan perempuan di balik status hukum yang mereka sandang. Banyak dari mereka kehilangan kesempatan mengembangkan diri, membangun karier, atau sekadar melanjutkan pendidikan. Dalam berbagai diskusi kelompok terfokus, terungkap kegelisahan perempuan muda yang merasa "hidupnya berhenti" saat pernikahan tidak berjalan sesuai harapan.
Program yang diadakan oleh KKP UIN Mataram yang ada di Selengen bersama pihak Puskesmas dan KUA Kecamatan Kayangan membuktikan bahwa sinergi lintas sektor mampu menghadirkan solusi konkret. Edukasi langsung di tingkat anak SMK/SMA dan Sederajat menjadi wadah refleksi bersama, bukan hanya untuk perempuan, tetapi bagi seluruh komunitas. Diskusi interaktif yang digelar hari itu, mempertegas pentingnya keterbukaan informasi tentang pernikahan sehat, hak-hak reproduksi, serta perlindungan hukum untuk perempuan.
Kegiatan edukatif seperti ini penting dilanjutkan secara rutin dan terstruktur. Mengingat perubahan perilaku sosial---termasuk pencegahan pernikahan dini---tidak bisa diukur hanya dari hasil satu kali penyuluhan. Penguatan kapasitas kader kesehatan, pelatihan bagi guru agama dan tokoh masyarakat, hingga pembentukan kelompok pendamping perempuan menjadi strategi jangka panjang yang dapat mempercepat pencapaian lingkungan ramah perempuan.
Isu pernikahan anak usia dini harus dipandang dari kacamata ramah perempuan, yaitu menempatkan perempuan sebagai mitra sejajar dalam mengambil keputusan. Perspektif ini menekankan perlunya mendengarkan suara, kebutuhan, dan aspirasi perempuan agar setiap intervensi yang dilakukan benar-benar menyentuh akar masalah, bukan sekadar menurunkan angka statistik.