Di tengah gemerlapnya kawasan Alun-Alun Kidul (Alkid) Jogja yang kini ramai dengan lampu warna-warni dan berbagai tenant kekinian, ada sosok yang tetap setia menggelar dagangannya sejak lama. Namanya Ibu Partiwi, seorang penjual rebus jagung dan kacang-kacangan yang sudah berjualan di daerah itu sejak tahun 1983 ketika Alkid belum seperti sekarang.
Dulu, Alkid belum banyak dikenal sebagai tempat nongkrong anak muda seperti sekarang. Saat itu, suasananya masih sangat sederhana. Bahkan, di dekat situ berdiri Hotel Seporosani yang legendaris. Hotel ini dulu sangat terkenal di Jogja pada zamannya. Sayangnya, kini Hotel Seporosani sudah tidak beroperasi lagi dan bangunannya telah berubah fungsi, mungkin dipakai untuk keperluan lain yang jauh berbeda dari masa kejayaannya.
Ibu Partiwi sendiri tinggal tak jauh dari Alkid, tepatnya di sekitar Pasar Bringharjo. Saat itu, Pasar Bringharjo masih ramai menjadi pusat aktivitas masyarakat Jogja. Namun, seperti halnya kawasan lain, Pasar Bringharjo juga mengalami perubahan signifikan. Gedung-gedung baru mulai menggantikan bangunan lama yang penuh cerita.
Saya berkesempatan bertemu dan ngobrol langsung dengan Ibu Partiwi. Beliau adalah sosok yang ramah dan penuh kehangatan. Meski usianya sudah mencapai 65 tahun, tapi kalau melihat wajah dan sikapnya, beliau terlihat jauh lebih muda. Kesehatannya pun masih sangat baik, terlihat dari gerakannya yang lincah dan tawa yang mudah mengembang saat diajak bicara.
"Mbok, aku senang sekali ngobrol sama Ibu. Jarang-jarang aku ngobrol sama mbah yang asik dan seru kayak gini," kataku sambil tersenyum.
Ibu Partiwi tertawa lepas mendengar pujian itu. "Ah, ngopo, Mbak? Aku ya gini-gini aja. Tapi seneng kok kalau bisa diajak ngobrol," jawabnya sambil menata jagung rebus dan kacang di atas gerobaknya.
Sejak tahun 1983, Ibu Partiwi sudah mulai berjualan di daerah Alkid. Waktu itu, Alkid belum seramai dan semodern sekarang. Banyak hal masih sangat sederhana. Ia masih ingat betul masa-masa itu, walaupun tidak banyak diceritakan secara gamblang. Cukup dari raut wajah dan kesungguhan dalam setiap ucapannya, saya bisa merasakan betapa berat perjuangan beliau.
Setiap pagi, Ibu Partiwi sudah bangun lebih awal. Membawa dagangan dari rumah, memasak jagung dan kacang yang akan dijual. Ia harus siap menghadapi panas terik, bahkan hujan mendadak yang kadang membuat dagangannya harus berteduh. Semua itu beliau jalani dengan sabar dan ikhlas demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
"Terkadang memang susah, Mbak. Kadang pembeli sedikit, tapi ya harus tetap semangat. Aku ingat dulu, jualan di sini waktu belum ada lampu-lampu dan keramaian kayak sekarang. Hanya ada beberapa warung dan hotel seperti Seporosani," kata beliau mengenang.
Perjuangan Ibu Partiwi tentu tidak selalu berjalan mulus. Dulu, saat pertama kali mulai berjualan, ia membawa dagangan dengan pikulan, menyusuri jalan dari satu tempat ke tempat lain. Kadang dagangan habis, kadang masih sisa banyak. Hujan deras tanpa tempat berteduh, panas menyengat saat siang hari, hingga gangguan kesehatan yang datang tiba-tiba adalah bagian dari hari-harinya. Tapi yang paling berat, katanya, bukan lelah fisik---melainkan rasa khawatir kalau-kalau anak-anaknya kelaparan di rumah saat ia belum pulang membawa uang.
"Waktu anak-anak masih kecil, saya pernah pulang hanya bawa lima ribu, Mbak. Nggak cukup buat beli beras. Tapi saya tetap masak seadanya. Yang penting anak-anak makan duluan," katanya pelan, sambil tersenyum mengingat masa lalu yang kini sudah ia lewati.
Ia juga sempat berdagang sambil membawa anak bungsunya yang masih bayi. Ditaruh di keranjang kecil, digendong, lalu diletakkan dekat gerobaknya saat ia melayani pembeli. Beliau melakukannya sendiri---tanpa bantuan asisten, tanpa fasilitas, dan tentu saja tanpa teknologi seperti sekarang.
Kadang ia ikut acara pasar malam, kadang juga mencoba berjualan di tempat baru, tapi selalu kembali ke Alkid. Katanya, "Tempat ini sudah seperti rumah kedua. Di sinilah saya bertahan, jatuh bangun, tapi juga bersyukur."
Perjalanan hidup beliau tidak mudah. Namun, ia berhasil mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang dan disiplin. Anak-anaknya sekarang sudah dewasa, bahkan salah satu sudah menamatkan kuliah dan kini memiliki anak yang duduk di bangku SMA. Itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Ibu Partiwi, hasil dari perjuangan dan kerja kerasnya selama ini.
Saya merasa terharu mendengar kisahnya. Sosok beliau yang sederhana tapi penuh keteguhan hati menjadi inspirasi tersendiri. Beliau tidak banyak bicara tentang kesulitan yang dialami, tapi dari setiap kata dan senyumnya, saya tahu beliau sudah melewati banyak hal berat.
"Kalau cerita susah senang, aku jarang cerita, Mbak. Cukup aku rasain sendiri aja. Yang penting anak-anak sekolah sampai kuliah, sehat, itu sudah cukup buat aku," ujarnya dengan suara tenang.
Momen ngobrol santai itu menjadi waktu yang berharga. Di tengah kesibukannya melayani pembeli yang terus datang, beliau tetap menyempatkan tersenyum dan berbagi cerita sedikit demi sedikit. Saya pun membeli jagung rebus dan kacang dari beliau, sambil mengucapkan terima kasih atas waktunya.
"Keren sekali, Mbak, ibu kayak Ibu Partiwi ini. Walaupun sudah berjualan puluhan tahun dengan penghasilan pas-pasan, tapi tetap semangat dan selalu ramah. Aku belajar banyak dari ibu ini tentang arti perjuangan dan cinta keluarga," pikirku dalam hati.
Melihat beliau yang tetap sehat, ceria, dan ramah membuat saya semakin menghargai sosok para pelaku UMKM yang tak banyak terdengar suaranya, tapi memberi warna di kehidupan sehari-hari kita. Mereka adalah pahlawan kecil yang terus berjuang tanpa banyak bicara, tapi hasilnya nyata dan terasa.
Kisah Ibu Partiwi ini mengingatkan kita semua bahwa di balik setiap dagangan sederhana, ada cerita panjang perjuangan dan harapan. Tidak mudah, tapi dengan ketekunan dan niat yang tulus, segala rintangan bisa dilalui.
Bagi generasi muda, kisah ini juga mengajarkan pentingnya menghargai dan memahami perjuangan orang tua, terutama ibu dan ayah kita. Mereka mungkin tidak selalu menceritakan susah payahnya, tapi kerja keras mereka adalah fondasi yang kuat bagi masa depan kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI