Perjuangan Ibu Partiwi tentu tidak selalu berjalan mulus. Dulu, saat pertama kali mulai berjualan, ia membawa dagangan dengan pikulan, menyusuri jalan dari satu tempat ke tempat lain. Kadang dagangan habis, kadang masih sisa banyak. Hujan deras tanpa tempat berteduh, panas menyengat saat siang hari, hingga gangguan kesehatan yang datang tiba-tiba adalah bagian dari hari-harinya. Tapi yang paling berat, katanya, bukan lelah fisik---melainkan rasa khawatir kalau-kalau anak-anaknya kelaparan di rumah saat ia belum pulang membawa uang.
"Waktu anak-anak masih kecil, saya pernah pulang hanya bawa lima ribu, Mbak. Nggak cukup buat beli beras. Tapi saya tetap masak seadanya. Yang penting anak-anak makan duluan," katanya pelan, sambil tersenyum mengingat masa lalu yang kini sudah ia lewati.
Ia juga sempat berdagang sambil membawa anak bungsunya yang masih bayi. Ditaruh di keranjang kecil, digendong, lalu diletakkan dekat gerobaknya saat ia melayani pembeli. Beliau melakukannya sendiri---tanpa bantuan asisten, tanpa fasilitas, dan tentu saja tanpa teknologi seperti sekarang.
Kadang ia ikut acara pasar malam, kadang juga mencoba berjualan di tempat baru, tapi selalu kembali ke Alkid. Katanya, "Tempat ini sudah seperti rumah kedua. Di sinilah saya bertahan, jatuh bangun, tapi juga bersyukur."
Perjalanan hidup beliau tidak mudah. Namun, ia berhasil mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang dan disiplin. Anak-anaknya sekarang sudah dewasa, bahkan salah satu sudah menamatkan kuliah dan kini memiliki anak yang duduk di bangku SMA. Itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Ibu Partiwi, hasil dari perjuangan dan kerja kerasnya selama ini.
Saya merasa terharu mendengar kisahnya. Sosok beliau yang sederhana tapi penuh keteguhan hati menjadi inspirasi tersendiri. Beliau tidak banyak bicara tentang kesulitan yang dialami, tapi dari setiap kata dan senyumnya, saya tahu beliau sudah melewati banyak hal berat.
"Kalau cerita susah senang, aku jarang cerita, Mbak. Cukup aku rasain sendiri aja. Yang penting anak-anak sekolah sampai kuliah, sehat, itu sudah cukup buat aku," ujarnya dengan suara tenang.
Momen ngobrol santai itu menjadi waktu yang berharga. Di tengah kesibukannya melayani pembeli yang terus datang, beliau tetap menyempatkan tersenyum dan berbagi cerita sedikit demi sedikit. Saya pun membeli jagung rebus dan kacang dari beliau, sambil mengucapkan terima kasih atas waktunya.
"Keren sekali, Mbak, ibu kayak Ibu Partiwi ini. Walaupun sudah berjualan puluhan tahun dengan penghasilan pas-pasan, tapi tetap semangat dan selalu ramah. Aku belajar banyak dari ibu ini tentang arti perjuangan dan cinta keluarga," pikirku dalam hati.
Melihat beliau yang tetap sehat, ceria, dan ramah membuat saya semakin menghargai sosok para pelaku UMKM yang tak banyak terdengar suaranya, tapi memberi warna di kehidupan sehari-hari kita. Mereka adalah pahlawan kecil yang terus berjuang tanpa banyak bicara, tapi hasilnya nyata dan terasa.
Kisah Ibu Partiwi ini mengingatkan kita semua bahwa di balik setiap dagangan sederhana, ada cerita panjang perjuangan dan harapan. Tidak mudah, tapi dengan ketekunan dan niat yang tulus, segala rintangan bisa dilalui.