Di balik pencapaian akademik dan senyum yang sering terpampang di media sosial, banyak anak muda diam-diam berjuang melawan dirinya sendiri. Tekanan hidup di usia 20-an datang tanpa aba-aba. Semua terasa berjalan cepat, seolah dunia menuntut mereka untuk selalu siap dan berhasil.
Bagi sebagian orang, usia 20-an sering disebut masa paling bersemangat, penuh rencana, ambisi, dan impian besar. Tapi bagi Afi (21), seorang mahasiswi berprestasi di UIN SSC, masa ini justru terasa seperti fase paling melelahkan.
"Katanya kita harus siap menghadapi dunia yang lebih besar lagi. Tapi, siapa sih yang benar-benar siap?" ucapnya saat diwawancarai oleh tim Mind Scope.
Afi menggambarkan hidup di usia 20-an sebagai periode yang penuh pressure dan ekspektasi. Di balik pencapaiannya, ia menyimpan rasa cemas yang jarang dibicarakan, tentang tuntutan, perbandingan, dan upaya untuk tetap terlihat "baik-baik saja".
Kesehatan mental kini menjadi isu yang semakin penting diperhatikan, terutama bagi generasi muda yang sedang berada di usia 20-an. Hidup penuh tuntutan, ekspektasi, dan perbandingan. Namun di balik semangat muda, banyak yang diam-diam berjuang agar tetap waras.
"Tanpa kesehatan mental, kamu rusak"
Saat ditanya pendapatnya tentang kesehatan mental, Afi menjawab singkat tapi penuh makna:
"Penting. Kamu butuh itu buat gapai semuanya. Tanpa itu kamu rusak."
Baginya, kesehatan mental bukan sekadar kondisi emosional, tapi fondasi agar seseorang bisa berfungsi dengan baik. Ia menganggap semua pencapaian baik akademik maupun sosial, tidak akan berarti tanpa mental yang stabil.
Rasanya Jadi 20-an: "Cape. Semua Dituntut untuk Siap."
Afi mengaku, menjalani usia 20-an terasa seperti berada di persimpangan hidup yang melelahkan.