Stres!
Kutuk atau BerkaH
Pendahuluan
Ada saatnya dunia terasa begitu sunyi, meski riuh kehidupan tak pernah benar-benar berhenti. Ada saatnya hati terasa lelah, meski langkah tetap dipaksakan untuk terus berjalan. Dalam setiap helaan napas, di antara gemuruh harapan dan ketakutan, sering kali kita lupa bahwa ada tempat untuk beristirahat—bukan di luar sana, tetapi di dalam diri sendiri.
Di sudut-sudut kehidupan, ada jiwa-jiwa yang merintih karena merindukan pelukan yang tak terlihat. Mereka yang terdiam dalam kebingungan, bertanya-tanya dalam hening yang panjang, mencari makna di antara hiruk-pikuk dunia. Ada yang merasa tersesat, terombang-ambing dalam arus tanpa arah, dalam sebuah tanya yang tak berkesudahan: "Ke mana aku harus melangkah?" Namun ketahuilah, tak ada perjalanan yang benar-benar sendiri. Dalam kesunyian jiwa yang paling nelangsa , selalu ada suara lembut yang membisikkan harapan.
Tidak semua pertanyaan butuh jawaban dalam bentuk kata. Kadang, kehadiran saja sudah  cukup menjawab. Seperti angin yang menyentuh wajah tanpa suara, seperti cahaya bulan yang menemani tanpa minta bayaran, kasih itu selalu ada—menunggu untuk disadari, menanti untuk diterima.
Maka tenanglah, wahai jiwa yang gelisah. Tak perlu tergesa-gesa mencari apa yang sejatinya tak pernah benar-benar jauh. Pejamkan mata, hirup napas dalam-dalam, dan dengarkan suara hatimu—suara yang barangkali telah lama kau abaikan. Sebab dalam setiap tarikan napas, dalam setiap denyut nadi, ada kasih yang tetap tinggal, tak beranjak, tak berpaling. Kasih yang setia dalam diam, memeluk engkau  tanpa syarat, menjagamu tanpa perlu diminta.
Stres dalam Perspektif Psikologi dan Neurosains
Stres bukan sekadar beban yang menyesakkan, bukan pula sekumpulan lelah yang tak bernama. Ia adalah bahasa tubuh, isyarat halus dari jiwa yang ingin didengar. Saat dunia terasa mendesak, saat langkah terasa berat, tubuh berbicara dalam detak jantung yang berpacu, dalam napas yang tersengal, dalam gelombang kecil yang menggetarkan nadi.
Ini bukan hukuman, bukan pula pertanda kelemahan. Ini adalah warisan dari masa lalu, mekanisme bertahan yang telah menemani manusia sejak zaman purba. Saat bahaya mengintai, tubuh menyiapkan dirinya—menajamkan indra, mengeraskan otot, menyuntikkan tenaga lewat kortisol dan adrenalin. Semua itu bukan untuk menakut-nakuti, tetapi agar kita lebih siap, lebih sigap, lebih hidup.
Namun, apa jadinya jika alarm ini terus berbunyi? Jika tubuh tak lagi mengenal jeda? Jika kita terus berlari tanpa memberi ruang bagi diri untuk bernapas? Maka stres, yang semula sekadar bisikan, berubah menjadi teriakan. Dan sering kali, kita lupa bahwa tubuh tak meminta kita untuk terus melawan—kadang ia hanya meminta kita untuk mendengar, untuk berhenti sejenak, untuk merengkuh diri sendiri dalam ketenangan.
Sebab sejatinya, dalam setiap ketegangan ada ruang untuk kelembutan. Dalam setiap napas yang terengah, ada kesempatan untuk kembali menghela perlahan. Dan dalam setiap riuhnya dunia, selalu ada sudut sunyi di dalam diri yang menunggu untuk disentuh—tempat di mana ketenangan bukan sesuatu yang dicari, tetapi sesuatu yang ditemukan.