Setiap sore, secangkir kopi selalu menemani hari-hari Kakek di teras rumah tuanya. Dan tentu saja bersama koran pagi yang datangnya selalu selalu sore. Telat. Maklum, Kota kami jauh dari pusat Kota.  Kopi yang selalu di rebus nenek,  dihidangkan dalam cangkir dari bahan alumunium seolah-olah  menjadi sahabat setia kakek saat menunggu waktu azan magrib tiba.  Maklum usai pensiun sebagai pegawai pemerintahan kakek tidak memiliki usaha lain, selain menerima uang pensiunnya.
" Kakekmu orang jujur. Tidak pernah memanfaatkan jabatannya," cerita Ibu kepadaku. " Kakekmu ingin mewariskan nama harum usai tidak bekerja lagi. Bukankah nama harum lebih berharga dari timbunan harta," lanjut Ibu.Â
Dan sore hari adalah waktu yang amat kutunggu. Waktu yang amat membahagiakan ku. Waktu yang sangat istimewa sekali bagiku. Sore adalah momentum untuk ke rumah kakek. Selain bisa menikmati kopi buatan nenek bersama kakek, Â aku juga bisa membaca koran. Dan tentu saja mendengarkan cerita kakek tentang berbagai hal yang pernah dialaminya, sekaligus bisa menambah pengetahuanku. Dan syukur-syukur aku bisa belajar dari pengalaman kakek sebagai bekal masa depan yang amat keras dan penuh tantangan.
Kakek pernah bercerita era dulu kehidupan masyarakat amat rukun dan tidak pernah terjadi friksi diantara masyarakat karena dulu orang merasa hidup sepenanggungan dan saling berusaha membantu kalau ada yang kesulitan.
" Dulu orang saling gotongroyong. Saling bantu membantu. Tak saling menyatakan dirinya paling hebat, pintar atau sok berkuasa." cerita kakek sambil menghirup kopinya. Sebatang rokok kretek dibakarnya. Dihisapnya. Asapnya melayang tinggi keangkasa. Seolah ingin mengejar awan di langit biru. " Makanya di kota ini ada gedung pertemuan yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat," lanjut kakek sambil menjentikkan rokoknya di asbak.
Dan biasanya aku baru pulang ke rumah usai sholat magrib bersama kakek.
___
Setiap sore pula, biasanya banyak sahabat-sahabat kakek yang datang. Mareka rata-rata pensiunan. Ada pensiunan guru, tentara hingga pensiunan kecamatan. Bahkan ada pula masyarakat biasa. Kadang ada juga pegawai Kecamatan yang masih aktif yang memenuhi teras depan rumah kakek. Ramai sekali. Mareka bisa berbaur tanpa memandang status. Mareka sekedar bersilahturahmi dan ngobrol. Kadang bertukar informasi. Mareka senang datang ke rumah kakek, karena selain bisa menikmati kopi dan juga pisang goreng saat tanggal muda, mareka bisa pula membaca koran. Setahuku sudah lama Kakek berlangganan koran. Sejak aku SD, aku sudah terbiasa melihat dan membaca koran di rumah kakek.
Tawa dan canda selalu berderai dari mareka, para kaum sepuh. Wajah mareka selalu berseri. Tak ada guratan kesedihan yang terpancar dari wajah-wajah tua mareka menyongsong waktu senja mareka. Tak ada sama sekali. Dan biasanya saat lembayung dengan sinar kemerah-merahannya mulai tampak diufuk , mareka secara berangsur-angsur meninggalkan rumah kakek.
Sore itu aku datang ke rumah kakek. Hanya dalam tempo limabelas menit, aku sudah sampai di rumah kakek. Ku lihat banyak mobil terparkir rapi di halaman rumah kakek. Â Beberapa diantaranya mobil bernomor polisi berwarna merah parkir dihalaman rumah kakek. Aku bertanya dalam hati. Siapa gerangan tamu kakek?
Aku melihat kakek tampak sedang asyik bercakap dengan tamunya yang memakai baju safari seperti pejabat yang sering kulihat di koran. Apalagi ada beberapa pegawai Kecamatan yang juga ikut menemani lelaki yang berpakaian safari  di rumah kakek.  kakek dan lelaki bersafari itu tampak akrab. Mareka tampak seperti dua sahabat lama yang sudah tak bertemu. Sejuta kecerian terhampar dari wajah mareka berdua. Kopi tentu saja menjadi menu khusus sore itu. Walaupun kulihat ada juga pisang goreng dan ubi goreng .